Aku ingin menjadi seorang pahlawan. Bukan hanya sahabat dari seorang pahlawan. Aku percaya bahwa setiap kita pasti akan dimudahkan ketika melakukan sesuatu yang untuknya kita diciptakan. Sang Pencipta sendiri yang memfirmankan hal itu. Maka, seorang pahlawan tidak dilahirkan. Ia dibentuk oleh proses, oleh visi dan mimpi, harapan dan tekad yang kuat. Karena pahlawan bukanlah orang suci yang turun dari langit untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mukjizat, untuk kemudian kembali naik ke langit. Pahlawan adalah orang biasa, yang melakukan kerja besar dalam sunyi waktu yang panjang, sampai waktu mereka habis. Mereka hanyalah manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi sekelilingnya. Mereka menyusun kerja besar dari kerja-kerja kecil. Karya kepahlawanan adalah tabungan jiwa dalam jangka waktu yang lama.

Seorang pahlawan mampu bersikap optimis di tengah mimpi yang surealis dan kenyataan yang pragmatis. Mereka menggadaikan predikat “biasa” untuk menjadi “unik”, dengan segenap konsekuensinya. Seorang pahlawan bukanlah orang yang serbabisa, melainkan seorang yang memiliki kerja paling besar, kontribusi paling nyata, pada ranah yang dikuasainya. Tak ada rasa takut dan kecewa ketika menghadapi kegagalan; pun tiada rasa bangga ketika prestasi yang diraihnya hanyalah kebetulan belaka. Karena pahlawan senantiasa bergerak dalam rencana. Kekuatannya adalah untuk mengalahkan diri sendiri, bukan orang lain. Seorang pahlawan sejati mampu menjadi orang biasa di tengah hiruk pikuk heroisme dari masyarakat. Jujur pada Tuhannya, pada dirinya, dan pada orang lain, adalah sifatnya.

Tidak ada pahlawan yang tercipta dengan instan. Semua melalui proses. Pengenalan terhadap diri, kemudian perbaikan pada diri yang simultan dengan masyarakat di sekitarnya. Lalu seperti tanaman padi: makin tua, makin berisi, makin merunduk. Ia meninggi ketika ia merendah. Dan ia tiada henti beramal kebaikan. Karena setiap kebaikan yang kita lakukan akan mengajak saudara-saudara kita yang lain.

Aku berhasrat untuk menjadi seorang pahlawan. Untuk itu, harus kukuatkan diriku untuk menempuh jalan yang panjang lagi tidak mudah. Untuk terus bergerak, terus berubah, terus berkarya. Sampai waktuku habis.

Detik pancang tekad itu baru saja dimulai, pada usiaku yang menjelang dua puluh satu. Ketika jasad semakin menua, seharusnya pula jiwa semakin matang. Oleh karena itu, mulailah menggodok kematangannya. Mulailah dari saat ini juga. Karena aku takkan pernah tahu kapankah waktuku akan berhenti berdetak. Ketika tiba saatnya aku kembali pada keabadian. Maka tak boleh ada jenak yang terbuang. Tak boleh ada energi yang tersia. Aku, tubuhku, pikiranku, jiwaku, hatiku, akan melangkah. Satu demi satu. Lalu berlari. Di jalan pahlawan ini.

Ketika susah, bersabarlah. Ketika lelah, beristirahatlah. Hanya sejenak. Untuk kemudian kembali bergerak. Karena Allah tak pernah menjanjikan bahwa hidup ini akan mudah. Tetapi Ia telah menjanjikan untuk berjalan bersamaku, mengiringi langkahku, melindungiku, menguatkanku, dalam kebaikan. Kepada siapa lagi aku bergantung, selain kepadaNya?

Aku ingin menjadi sebenar-benarnya pahlawan. Untuk itu, banyak langkah yang harus kulakukan. Langkah pertama adalah dengan mengenal diriku sendiri, mengasah kekuatannya, memperbaiki kelemahannya. Dan aku bersyukur, ada banyak sekali hal yang harus kuperbaiki pada diriku.

[Kebelummampuanku untuk memahami dan menghargai waktu. Keingintahuan yang kadang bisa membahayakan. Rasa malu yang harus semakin ditanamkan, untuk mencegah diriku berbuat apapun yang kuinginkan, meski aku tahu Allah selalu ada dan pandanganNya bisa menembus isi hatiku dan gema pikiranku. Sikap emosi yang belum terkendali dengan baik. Perasaan menyepelekan, menganggap remeh masalah atau orang lain. Kecuekan yang akut pada lingkungan. Kedzhaliman yang membahayakan, tidak menempatkan banyak hal pada proporsinya. Janji yang terlalu sering diingkari, sampai menyakiti diri sendiri. Obsesi yang tidak sehat pada hal-hal yang cenderung melenakan. Keengganan, kemalasan untuk bergerak, berpeluh, berkarya. Stagnan. Kurva ibadah yang fluktuatif, terlalu dinamis – jarang meningkatnya, keseringan menurunnya. Kurangnya tabungan amal. Terlalu lunak dan memaafkan kekurangan diri sendiri atas dalil-dalil yang tidak syar’i. Masih berkiblat pada orang lain yang tidak lebih baik ketaatannya. Tidak ingin bergerak tanpa rencana, tetapi tak kunjung pula menyusun rencana. Kembali stagnan. Terlalu banyak bertanya tanpa usaha mencari, memahami, dan menerapkan jawabannya. Menipu diri dengan kesemuan penghiburan “saya baik-baik saja”, padahal jiwa tengah menjerit…]

Semakin aku menulis, semakin sesak napasku. Ternyata benar. Selama ini, aku sibuk membuat daftar tentang yang kukira kebaikan yang kutemukan pada diriku. Tetapi keburukannya, tak pernah kupedulikan apalagi kuurusi… Kadang menyesali tetapi… hanya itu! Tanpa ruh untuk bergerak!

Banyak pe er yang menunggu. Takkan mudah. Dan takkan singkat. Tetapi pahlawan tidak mundur dari tantangan. Dan aku takkan mundur. Sampai waktuku tak berdetak lagi.

Detik berganti menit. Menit berbilang jam, yang menyempurnakan hitungan hari, menjelma bulan, lalu tahun. Tulisan ini adalah awal. Dan aku berjanji, aku berazzam, bahwa akhirnya pun akan dituliskan. Sebagai akhir yang indah, insya Allah.

Satu langkah amat kecil sudah kumulai. Untuk merakit langkah-langkah kecil ini menjadi sebuah kerja besar. Langkah yang awalnya tertatih, untuk menegap, kemudian mengayuh lengan dan berlari, terus berlari, dengan kekuatan yang meninggi, dan makin meninggi…


*) Diilhami oleh buku “Mencari Pahlawan Indonesia”, karya Anis Matta.

sumber:

http://suaracahaya.multiply.com/journal/item/63/Aku_Ingin_Menjadi_Pahlawan

Pembaca yang budiman,
Begitu banyak tantangan dan rintangan yang terjadi di negeri kita saat ini : harga BBM naik tinggi, semua bahan baku juga ikut melambung tinggi, demo terjadi dimana-mana, jumlah penggangguran yang  semakin bertambah, krisis ekonomi dan juga krisis moral dan kepercayaan satu sama yang lain. Sepertinya membuat kita semua ingin berteriak, saling menyalahkan, mengeluh dan komplain. Bahkan bentrokan terjadi antar mahasiswa dan polisi. Tetapi apakah yang kita alami saat ini lebih parah dari yang terjadi di negara lain seperti gempa bumi di Shechuan ?
Saya ingin mengajak Anda semua untuk melihat dari sisi lainnya, dengan sikap dan reaksi yang berbeda. Seperti kisah diatas, tidak mengeluh, tidak komplain, bahkan bisa bantu satu sama yang lain. Saya rasa saat ini bukan waktu yang tepat untuk komplain, saling menyalahkan, bahkan menjatuhkan. Tetapi saatnya kita bangkit dan berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk mengubah keadaan. Mungkin kita tidak bisa berbuat banyak untuk bangsa dan negara kita, masyarakat dan lingkungan sekitar. Tapi kita bisa mulai dari keluarga kita, buatlah sesuatu yang bermanfaat yang bisa membuat keluarga kita menjadi lebih baik.
Saat ini dibutuhkan seorang Pahlawan.. ya… pahlawan buat keluarga kita. Siapa yang berani berdiri di depan, mengambil tanggung jawab penuh terhadap kehidupan kita sendiri . tidak mengeluh, tidak komplain, bertindak langsung, memberikan yang terbaik yang kita bisa, membantu satu sama yang lain, saling mendukung dan bekerjasama demi satu tujuan yang sama yaitu membuat hidup yang lebih baik.
Saya yakin, dengan sikap yang benar, bekerja lebih keras & cerdas, saling membantu  dan mendukung  satu sama lain, bersyukur terhadap apa yang kita mliki saat ini, pasti kita bisa menciptakan kehidupan keluarga yang jauh lebih baik, dengan keluarga yang lebih baik kita bisa menciptakan masyarakat dan lingkungan sekitar yang lebih baik, kota yang lebih baik, provinsi yang lebih baik, bahkan bangsa dan negara yang lebih baik. Bersama-sama kita wujudkan kehidupan yang lebih sehat, kaya dan bahagia.
Bangkitlah Indonesiaku, Indonesia Bisa !!!

Leave a Reply