I. Pengertian Dasar
Secara biokimia karbohidrat adalah polihidroksil-aldehida atau polihidroksil-keton, atau senyawa yang menghasilkan senyawa-senyawa ini bila dihidrolisis. Karbohidrat mengandung gugus fungsi karbonil (sebagai aldehida atau keton) dan banyak gugus hidroksil. Pada awalnya, istilah karbohidrat digunakan untuk golongan senyawa yang mempunyai rumus (CH2O)n, yaitu senyawa-senyawa yang n atom karbonnya tampak terhidrasi oleh n molekul air. Namun demikian, terdapat pula karbohidrat yang tidak memiliki rumus demikian dan ada pula yang mengandung nitrogen, fosforus, atau sulfur. Karbohidrat menyediakan kebutuhan dasar yang diperlukan tubuh makhluk hidup.
Monosakarida, khususnya glukosa, merupakan nutrien utama sel. Misalnya, pada vertebrata, glukosa mengalir dalam aliran darah sehingga tersedia bagi seluruh sel tubuh. Sel-sel tubuh tersebut menyerap glukosa dan mengambil tenaga yang tersimpan di dalam molekul tersebut pada proses respirasi selular untuk menjalankan sel-sel tubuh. Selain itu, kerangka karbon monosakarida juga berfungsi sebagai bahan baku untuk sintesis jenis molekul organik kecil lainnya, termasuk asam amino dan asam lemak. Sebagai nutrisi untuk manusia, 1 gram karbohidrat memiliki nilai energi 4 Kalori. Dalam menu makanan orang Asia Tenggara termasuk Indonesia, umumnya kandungan karbohidrat cukup tinggi, yaitu antara 70–80%. Bahan makanan sumber karbohidrat ini misalnya padi-padian atau serealia (gandum dan beras), umbi-umbian (kentang, singkong, ubi jalar), dan gula.
II. Hiperglikemia
Hiperglikemia merupakan keadaan peningkatan glukosa darah dari rentang kadar
Penderita diabetes atau diabetesi harus mewaspadai risiko hiperglikemia sesudah makan. Kadar gula darah yang semakin tinggi akan merusak jaringan tubuh dan menimbulkan komplikasi terhadap pembuluh darah.
Masyarakat masih beranggapan diabetes sebagai penyakit orangtua atau penyakit karena faktor keturunan. Padahal, diabetes bisa menyerang segala usia dari berbagai status sosial. Di Amerika misalnya, peningkatan jumlah penderita diabetes sejalan dengan semakin banyaknya penduduk yang mengalami obesitas. Tak aneh bila Ketua Diabetes Indonesia Prof Sidartawan Soegondo MD PHD FACE menyarankan untuk melakukan pemeriksaan kadar gula sedini mungkin saat usia menginjak 30 tahun. “Hal ini disebabkan perubahan lifestyle anak dan remaja. Akibat perubahan gaya hidup ini, mereka lebih berisiko mengalami diabetes tipe 2,” katanya.
Diabetes mellitus merupakan suatu kondisi ketika kadar glukosa (gula sederhana) di dalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang berasal dari pancreas secara cukup. Untuk mengetahui seseorang mengalami diabetes atau tidak, maka dapat dilakukan dua cara, yaitu :
Dunia kedokteran juga mengenal istilah hiperglikemia postprandial atau kadar gula darah dua jam sesudah makan yang melebihi nilai normal. Dalam keadaan normal, kadar gula darah dua jam sesudah makan kurang dari 200 mg/dl. Namun, pada individu dengan diabetes melitus, kadarnya melebihi atau sama dengan 200 mg/dl. Penderita diabetes harus mewaspadai risiko hiperglikemia postprandial karena berisiko terkena penyakit kardiovaskular. Hiperglikemia postprandial merupakan keadaan yang berbahaya,” kata Prof Sidartawan kepada sejumlah media di Jakarta, beberapa waktu lalu.
III. Diabetes Mellitus
Diabetesi berisiko terkena penyakit kardiovaskular 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang bukan pengidap diabetes. Kondisi pradiabetes juga akan menjadi ancaman menuju penyakit kardiovaskular. Seseorang yang mengalami hiperglikemia tidak akan merasakan gejala apa pun. Walaupun demikian, semakin tinggi kadar gula darah atau sekira 160 mg/dl, biasanya akan makin sering kencing atau sering merasa haus,” papar pria kelahiran Amsterdam, 14 Agustus 1944, seraya menambahkan semakin tinggi tingkat hiperglikemia postprandial, semakin meningkat pula risiko penyakit kardiovaskular.
Meningginya kadar gula dalam darah merusak jaringan fungsi sel beta yang bertugas mengeluarkan insulin. Insulin berupa polipeptida yang dihasilkan oleh sel-sel β pankreas. Insulin terdiri atas dua rantai polipeptida.
IV. Insulin
Struktur insulin manusia dan beberapa spesies mamalia kini telah diketahui. Insulin manusia terdiri atas 21 residu asam amino pada rantai A dan 30 residu pada rantai B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh adanya dua buah rantai disulfida (Granner, 2003).
Insulin disekresi sebagai respon atsa meningkatnya konsentrasi glukosa dalam plasma darah. Konsentrasi ambang untuk sekresi tersebut adalah kadar glukosa pada saat puasa yaitu antara 80-100 mg/dL. Respon maksimal diperoleh pada kadar glukosa yang berkisar dar 300-500 mg/dL. Insulin yang disekresikan dialirkan melalui aliran darah ke seluruh tubuh.
Umur insulin dalam aliran darah sangat cepat. waktu paruhnya kurang dari 3-5 menit.
Sel-sel tubuh menangkap insulin pada suatu reseptor glikoprotein spesifik yang terdapat pada membran sel. Reseptor tersebut berupa heterodimer yang terdiri atas subunit α dan subunit β dengan konfigurasi α2β2. Subunit α berada pada permukaan luar membran sel dan berfungsi mengikat insulin. Subunit β berupa protein transmembran yang melaksanakan fungsi tranduksi sinyal. Bagian sitoplasma subunit β mempunyai aktivitas tirosin kinase dan tapak autofosforilasi (King, 2007).
Terikatnya insulin subunit α menyebabkan subunit β mengalami autofosforilasi pada residu tirosin. Reseptor yang terfosforilasi akan mengalami perubahan bentuk, membentuk agregat, internalisasi dan mnghasilkan lebih dari satu sinyal. Dalam kondisi dengan kadar insuli tinggi, misalnya pada obesitas atau pun akromegali, jumlah reseptor insulin berkurang dan terjadi resistansi terhadap insulin. Resistansi ini diakibatkan terjadinya regulasi ke bawah. Reseptor insulin mengalami endositosis ke dalam vesikel berbalut klatrin.
Insulin mengatur metabolisme glukosa dengan memfosforilasi substrat reseptor insulin (IRS) melalui aktivitas tirosin kinase subunit β pada reseptor insulin. IRS terfosforilasi memicu serangkaian rekasi kaskade yang efek nettonya adalah mengurangi kadar glukosa dalam darah. Ada beberapa cara insulin bekerja yaitu (Granner, 2003).
Terdapat 3 mekanisme yang terlibat yaitu:
a. Meningkatkan difusi glukosa ke dalam sel
Pengangkutan glukosa ke dalam sel melalui proses difusi dengan bantuan protein pembawa. Protein ini telah diidentifikasi melalui teknik kloning molekular. Ada 5 jenis protein pembawa tersebut yaitu GLUT1, GLUT2, GLUT3, GLUT4 dan GLUT 5. GLUT1 merupakan pengangkut glukosa yang ada pada otak, ginjal, kolon dan eritrosit. GLUT2 terdapat pada sel hati, pankreas, usus halus dan ginjal. GLUT3 berfungsi pada sel otak, ginjal dan plasenta. GLUT4 terletak di jaringan adiposa, otot jantung dan otot skeletal. GLUT5 bertanggung jawab terhadap absorpsi glukosa dari usus halus. Insulin meningkatkan secara signifikan jumlah protein pembawa terutama GLUT4. Sinyal yang ditransmisikan oleh insulin menarik pengankut glukosa ke tempat yang aktif pada membran plasma (Gambar 2.6). Translokasi protein pengangkut ini bergantung pada suhu dan energi serta tidak bergantung pada sintesis protein. Efek ini tidak terjadi pada hati.
b. Peningkatan aktivitas enzim
Pada orang yang normal, sekitar separuh dari glukosa yang dimakan diubah menjadi energi lewat glikolisis dan separuh lagi disimpan sebagai lemak atau glikogen. Glikolisis akan menurun dalam keadaan tanpa insulin dan proses glikogenesis ataupun lipogenesis akan terhalang.
Hormon insulin meningkatkan glikolisis sel-sel hati dengan cara meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang berperan. termasuk glukokinase, fosfofruktokinase dan piruvat kinase. Bertambahnya glikolisis akan meningkatkan penggunaan glukosa dan dengan demikian secara tidak langsung menurunkan pelepasan glukosa ke plasma darah. Insulin juga menurunkan aktivitas glukosa-6-fosfatase yaitu enzim yang ditemukan di hati dan berfungsi mengubah glukosa menjadi glukosa 6-fosfat. Penumpukan glukosa 6-fosfat dalam sel mengakibatkan retensi glukosa yang mengarah pada diabetes mellitus tipe 2.
Hormon insulin meningkatkan glikolisis sel-sel hati dengan cara meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang berperan. termasuk glukokinase, fosfofruktokinase dan piruvat kinase. Bertambahnya glikolisis akan meningkatkan penggunaan glukosa dan dengan demikian secara tidak langsung menurunkan pelepasan glukosa ke plasma darah. Insulin juga menurunkan aktivitas glukosa-6-fosfatase yaitu enzim yang ditemukan di hati dan berfungsi mengubah glukosa menjadi glukosa 6-fosfat. Penumpukan glukosa 6-fosfat dalam sel mengakibatkan retensi glukosa yang mengarah pada diabetes mellitus tipe 2.
Banyak efek metabolik insulin, khususnya yang terjadi dengan cepat dilakukan dengan mempengaruhi reaksi fosforilasi dan dfosforilasi protein yang selanjutnya mengubah aktivitas enzimatik enzim tersebut. Enzim-enzim yang dipengaruhi dengan cara ini dikemukakan pada tabel 2.1. Kerja insulin dilaksanakan dengan mengaktifkan protein kinase, menghambat protein kinase lain atau meransang aktivitas fosfoprotein fosfatase. Defosforilasi meningkatkan aktivitas sejumlah enzim penting. Modifikasi kovalen ini memungkinkan terjadinya perubahan yang hampir seketika pada aktivitas enzim tersebut.
Mekanisme defosforilasi enzim dilakukan melalui reaksi kaskade yang dipicu oleh fosforilasi substrat reseptor insulin. Sebagai contoh adalah pengeruh insulin pada enzim glikogen sintase dan glikogen fosforilase (King, 2007).
c. Menghambat kerja cAMP
Dalam menghambat atau meransang kerja suatu enzim, insulin memainkan peran ganda. Selain menghambat secara langsung, insulin juga mengurangi terbentuknya cAMP yang memiliki sifat antagonis terhadap insulin. Insulin meransang terbentuknya fosfodiesterase-cAMP. Dengan demikian insulin mengurangi kadar cAMP dalam darah.
d. Mempengaruhi ekspresi gen
Kerja insulin yang dibicarakan sebelumnya semuanya terjadi pada tingkat membran plasma atau di dalam sitoplasma. Di samping itu, insulin mempengaruhi berbagai proses spesifik dalam nukleolus. Enzim fosfoenolpiruvat karboksikinase mengkatalisis tahap yang membatasi kecepatan reaksi dalam glukoneogenesis. Sintesis enzim tersebut dikurangi oleh insulin dengan demikian glukoneogenesis akan menurun. Hasil penelitian menunjukkan transkripsi enzim ini menurun dalam beberapa menit setelah penambahan insulin. Penurunan transkripsi tersebut menyebabkan terjadinya penurunan laju sintesis enzim ini.
Penderita diabetes mellitus memiliki jumlah protein pembawa yang sangat rendah, terutama pada otot jantung, otot rangka dan jaringan adiposa karena insulin yang mentranslokasikannya ke situs aktif tidak tersedia. Kondisi ini diperparah pula dengan peranan insulin pada pengaturan metabolisme glukosa. Glikolisis dan glikogenesis akan terhambat akan enzim yang berperan dalam kedua jalur tersebut diinaktivasi tanpa kehadiran insulin. Sedangkan tanpa insulin, jalur metabolisme yang mengarah pada pembentukan glukosa diransang terutama oleh glukagon dan epinefrin yang bekerja melalui cAMP yang memiliki sifat antagonis terhadap insulin. Oleh karena itu, penderita diabetes mellitus baik tipe I atau tipe II kurang dapat menggunakan glukosa yang diperolehnya melalui makanan. Glukosa akan terakumulasi dalam plasma darah (hiperglikemia).
Penderita dengan kadar gula yang sangat tinggi maka gula tersebut akan dikeluarkan melalui urine. Gula disaring oleh glomerolus ginjal secara terus menerus, tetapi kemudian akan dikembalikan ke dalam sistem aliran darah melalui sistem reabsorpsi tubulus ginjal. Kapasitas ginjal mereabsorpsi glukosa terbatas pada laju 350 mg/menit. Ketika kadar glukosa amat tinggi, filtrat glomerolus mengandung glukosa di atas batas ambang untuk direabsorpsi. Akibatnya kelebihan glukosa tersebut dikeluarkan melalui urine. Gejala ini disebut glikosuria, yang mrupakan indikasi lain dari penyakit diabetes mellitus. Glikosuria ini megakibatkan kehilangan kalori yang sangat besar (Mayes, 2003).
Pengaturan metabolisme glukosa oleh insulin melalui berbagai mekanisme kompleks yang efek nettonya adalah peningkatan kadar glukosa dalam darah. Oleh karena itu, penderita diabetes mellitus yang jumlah insulinnya tidak mencukupi atau bekerja tidak efektif akan mengalami hiperglikemia. Kondisi ini akan menyebabkan pembuluh darah mengalami stres. Lama-kelamaan akan terjadi pengerasan di pembuluh darah atau biasa disebut arteroskelerosis.
Pengaturan metabolisme glukosa oleh insulin melalui berbagai mekanisme kompleks yang efek nettonya adalah peningkatan kadar glukosa dalam darah. Oleh karena itu, penderita diabetes mellitus yang jumlah insulinnya tidak mencukupi atau bekerja tidak efektif akan mengalami hiperglikemia. Kondisi ini akan menyebabkan pembuluh darah mengalami stres. Lama-kelamaan akan terjadi pengerasan di pembuluh darah atau biasa disebut arteroskelerosis.
Sementara itu, Clinical Assistant Professor dari University of South Florida College of Medicine Vibhuti N Singh MD MPH FACC FACAI mengungkapkan, plak yang semakin menumpuk menyebabkan arteroskelerosis hingga menyumbat aliran darah. “Pembuluh darah akan semakin tertekan dan mengganggu irama jantung. Plak mampu melebarkan pembuluh darah dan penggumpalan darah dan menyumbat arteri sehingga akan merusak jantung,” ungkap Sigh.
Untuk itu, sangat penting perawatan sedini mungkin karena rangkaian penyakit yang menyertainya. Pengendalian yang baik pada glukosa setelah makan dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan kematian akibat penyakit kardiovaskular. Prof Sidartawan menambahkan, hiperglikemia postprandial dapat diatasi dengan diet dan latihan jasmani. Bila keadaan ini tidak berhasil, maka diperlukan obat hipoglikemik oral. Obat hipoglikemik oral atau acorbose bekerja lokal di usus halus dan tidak mengakibatkan efek samping sistemik, tidak mengakibatkan hiperinsulinemia (kelebihan kadar insulin dalam darah) dan menurunnya kadar gula darah (hipoglikemia) maupun resistensi insulin.
Acarbose ditelan bersamaan suapan pertama pada waktu makan. Efek samping penggunaan golongan obat ini adalah sering kentut karena makanan dihambat penyerapannya,” tandas guru besar ilmu penyakit dalam FKUI itu. Selain melakukan perubahan gaya hidup dengan diet dan latihan jasmani, diabetesi pun harus mengonsumsi obat hipoglikemik oral sepanjang hidupnya.
V. Etiologi Hiperglikemia :
Penyebab tidak diketahui dengan pasti tapi umumnya diketahui kekurangan insulin adalah penyebab utama dan faktor herediter yang memegang peranan penting. Yang lain akibat pengangkatan pancreas, pengrusakan secara kimiawi sel beta pulau langerhans.
Ada 4 komponen dalam penatalaksanaan hiperglikemia :
1. Komposisi makanan :
a. Karbohidrat = 60 % – 70 %
b. Protein = 10 % – 15 %
1. Komposisi makanan :
a. Karbohidrat = 60 % – 70 %
b. Protein = 10 % – 15 %
c. Lemak = 20 % – 25 %
2. Jumlah kalori perhari
a. Antara 1100 -2300 kkal
b. Kebutuhan kalori basal : laki – laki : 30 kkal / kg BB
Perempuan : 25 kkal / kg BB
a. Antara 1100 -2300 kkal
b. Kebutuhan kalori basal : laki – laki : 30 kkal / kg BB
Perempuan : 25 kkal / kg BB
3. Penilaian status gizi :
BB
BBR = x 100 %
TB – 100
BB
BBR = x 100 %
TB – 100
Kurus : BBR 110 %
Obesitas bila BBRR > 110 %
Obesitas ringan 120% – 130 %
Obesitas sedang 130% – 140%
Obesitas berat 140% – 200%
Obesitas morbit > 200 %
Obesitas bila BBRR > 110 %
Obesitas ringan 120% – 130 %
Obesitas sedang 130% – 140%
Obesitas berat 140% – 200%
Obesitas morbit > 200 %
Jumlah kalori yang diperlukan sehari untuk penderita DM yang bekerja biasa adalah :
Kurus : BB x 40 – 60 kalori/hari
Normal (ideal) : BB x 30 kalori/hari
Gemuk : BB x 20 kalori/hari
Obesitas : BB x 10 – 15 kalori/hari
Kurus : BB x 40 – 60 kalori/hari
Normal (ideal) : BB x 30 kalori/hari
Gemuk : BB x 20 kalori/hari
Obesitas : BB x 10 – 15 kalori/hari
4. Latihan jasmani
5. Penyuluhan
Dilakukan pada kelompok resiko tinggi :
Umur diatas 45 tahun
Kegemukan lebih dari 120 % BB idaman atau IMT > 27 kg/m
Hipertensi > 140 / 90 mmHg
Riwayat keluarga DM
Dislipidemia, HDL 250 mg/dl
Parah TGT atau GPPT ( TGT : > 140 mg/dl – 2200 mg/dl), glukosa plasma puasa derange / GPPT : > 100 mg/dl dan < 126 mg/dl).
Umur diatas 45 tahun
Kegemukan lebih dari 120 % BB idaman atau IMT > 27 kg/m
Hipertensi > 140 / 90 mmHg
Riwayat keluarga DM
Dislipidemia, HDL 250 mg/dl
Parah TGT atau GPPT ( TGT : > 140 mg/dl – 2200 mg/dl), glukosa plasma puasa derange / GPPT : > 100 mg/dl dan < 126 mg/dl).
DAFTAR PUSTAKA
A.Kusumawardhani.2006. Food Addiction in Obesity. Majalah kedokteran Indonesia. Volume:56, hal.205-208
Mu’tadin, Zainun.2002. Obesitas dan Faktor Penyebabnya. Diunduh dari: http//www.e- psikologi.com/remaja/index.htmn. 3 mei 2009
Poedjiadi, Anna. 1994. Dasar- Dasar Biokimia. UI-Press. Yogyakarta.
Yanovski, susan Z.,dan Yanovski, Jack A. 2002. Obesity. NEJM. Volume: 346 hal.591-602
Sumber dari internet :
www.exelsa.usd.ac.id/goDownload.php?file=uploads/materi/dislipidemia/DislipidemiA.doc diakses tanggal 3 mei 2009 pukul 15.24
http://library.usu.ac.id/download/fk/gizi-bahri3.pdf diakses tanggal 26 nov 2010 pukul 15.24
http://freemedicarticles.blogspot.com/ diakses tanggal 26 nov 2010 pukul 15.24
http://dokter-alwi.com/dislipidemia.html diakses tanggal 26 nov 2010 pukul 15.24
Mu’tadin, Zainun.2002. Obesitas dan Faktor Penyebabnya. Diunduh dari: http//www.e- psikologi.com/remaja/index.htmn. 3 mei 2009
Poedjiadi, Anna. 1994. Dasar- Dasar Biokimia. UI-Press. Yogyakarta.
Yanovski, susan Z.,dan Yanovski, Jack A. 2002. Obesity. NEJM. Volume: 346 hal.591-602
Sumber dari internet :
www.exelsa.usd.ac.id/goDownload.php?file=uploads/materi/dislipidemia/DislipidemiA.doc diakses tanggal 3 mei 2009 pukul 15.24
http://library.usu.ac.id/download/fk/gizi-bahri3.pdf diakses tanggal 26 nov 2010 pukul 15.24
http://freemedicarticles.blogspot.com/ diakses tanggal 26 nov 2010 pukul 15.24
http://dokter-alwi.com/dislipidemia.html diakses tanggal 26 nov 2010 pukul 15.24
http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/09/hiperglikemia/
