BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik (Price, 1995).


Besi adalah salah satu unsur terbanyak dalam lapisan kulit bumi, tetapi defisiensi besi adalah penyebab anemia tersering, yang mengenai sekitar 500 juta orang di seluruh dunia. Hal ini terjadi karena tubuh mempunyai kemampuan yang terbatas untuk mengabsorpsi besi dan seringkali tubuh mengalami kehilangan besi yang berlebihan akibat perdarahan (Sudoyo, 2007).

B.    Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang didapatkan antara lain:
1.      Bagaimana struktur serta fungsi darah pada manusia?
2.      Apa definisi dari anemia khususnya anemia defisiensi besi?
3.      Apa yang menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi?
4.      Bagaimana gejala anemia defisiensi besi?
5.      Apa saja komplikasi yang dapat terjadi?
6.      Bagaimana pemeriksaan penyakit anemia defisiensi besi?
7.      Bagaimana penatalaksanaan penyakit anemia defisiensi besi?



C.   Tujuan
Adapun tujuan yang didapatkan antara lain:
1.      Agar dapat mengetahui struktur serta fungsi darah pada manusia
2.      Agar dapat mengetahui definisi dari anemia khususnya anemia defisiensi besi
3.      Agar dapat mengetahui penyebab terjadinya anemia defisiensi besi
4.      Agar dapat mengetahui gejala anemia defisiensi besi
5.      Agar dapat mengetahui komplikasi yang dapat terjadi
6.      Agar dapat mengetahui pemeriksaan penyakit anemia defisiensi besi
7.      Agar dapat mengetahui penatalaksanaan penyakit anemia defisiensi besi

D.  Manfaat
Adapun manfaat yang didapatkan antara lain:
1.      Mengetahui struktur serta fungsi darah pada manusia
2.      Mengetahui definisi dari anemia khususnya anemia defisiensi besi
3.      Mengetahui penyebab terjadinya anemia defisiensi besi
4.      Mengetahui gejala anemia defisiensi besi
5.      Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi
6.      Mengetahui pemeriksaan penyakit anemia defisiensi besi
7.      Mengetahui penatalaksanaan penyakit anemia defisiensi besi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.  Struktur dan Fungsi Sel Darah Merah
Sel darah merah atau eritrosit adalah merupakan cakram bikonkaf yang tidak berinti yang kira-kira berdiameter 8 m, tebal bagian tepi 2 m pada bagian tengah tebalnya hanya 1 m atau kurang. Komponen utama sel darah merah adalah protein hemoglobin (Hb) yang mengangkut O2 dan CO2. Molekul-molekul Hb terdiri dari 2 pasang rantai polipeptida (globin) dan 4 gugus hem, masing-masing mengandung sebuah atom besi. Konfigurasi ini memungkinkan pertukaran gas yang sangat sempurna.
Jumlah sel darah merah kira-kira 5 juta/mm3 darah pada rata-rata orang dewasa dan berumur 120 hari. Keseimbangan yang tetap dipertahankan antara kehilangan dan penggantian sel darah setiap hari. Pembentukan sel darah merah dirangsang oleh hormon glikoprotein, eritropoetin, yang berasal dari ginjal. Pembentukan eritropoetin dipengaruhi oleh hipoksia jaringan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti perubahan O2 atmosfir, berkurangnya kadar O2 darah arteri, dan berkurangnya konsentrasi hemoglobin. Eritropoetin merangsang sel induk untuk memulai proliferasi dan pematangan sel-sel darah merah. Selanjutnya, pematangan tergantung pada jumlah zat-zat makanan yang cukup dan penggunaannya yang cocok, seperti vitamin B12, asam folat, protein-protein, enzim-enzim, dan mineral seperti besi dan tembaga (Sylvia, 1995).


B.    Definisi Anemia
Anemia adalah keadaan patologis yang ditandai rendahnya konsentrasi Hb di bawah nilai normal. Walaupun anemia biasanya terjadi bersamaan dengan penurunan jumlah eritrosit, jumlah sel dapat normal, namun setiap sel mengandung lebih sedikit Hb (anemia hipokrom). Anemia dapat disebabkan kehilangan darah (perdarahan); produksi eritrosit yang tidak mencukupi dari sumsum tulang; produksi eritrosit dengan Hb yang tidak mencukupi, biasanya berhubungan dengan defisiensi dalam diet, atau destruksi sel-sel darah yang lebih cepat atau meningkat (Junquiera, 2007).
C.   Klasifikasi anemia
Anemia dapat diklasifikasikan menurut morfologi sel darah merah dan etiologinya. Pada klasifikasi anemia menurut morfologi, mikro dan makro menunjukkan ukuran sel darah merah sedangkan kromik menunjukkan warnanya. Adapun 3 klasifikasi besar anemia menurut morfologinya yaitu: (Sylvia, 1995)
1.      Normositik normokrom
Dimana ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah yang normal tetapi individu menderita anemia.
2.      Makrositik normokrom
Makrositik berarti ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari normal tetapi normokrom karena konsentrasi hemoglobinnya normal.
3.      Mikrositik hipokrom
Mikrositik berarti kecil, hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal.
Anemia dapat juga diklasifikasikan menurut etiologinya. Penyebab utama yang dipikirkan adalah meningkatnya kehilangan sel darah merah dan penurunan atau gangguan pembentukan sel (Sylvia, 1995).
D.  Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang. Kelainan ini ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer, besi serum menurun, TIBC (total iron binding capacity) meningkat, saturasi transferin menurun, feritin serum menurun, pengecatan besi sumsum tulang negatif dan adanya respon terhadap pengobatan dengan preparat besi (Underwood, 1999).
E.     Metabolisme Besi
Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh, berupa:
1.      Senyawa besi fungsional, yaitu besi yang membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh.
2.      Besi cadangan, senyawa besi yang dipersiapkan bila masukan besi berkurang.
3.      Besi transpor, besi yang berikatan dengan protein tertentu dalam fungsinya untuk mengangkut besi dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya.
Besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam bentuk logam bebas (free iron), tetapi selalu berikatan dengan protein tertentu. Tubuh mendapatkan masukan besi dari makanan dalam usus. Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh diperlukan proses absorpsi. Absorpsi besi paling banyak terjadi pada duodenum dan jejunum proksimal disebabkan oleh struktur epitel usus yang memungkinkan untuk itu. Banyaknya aborpsi besi tergantung pada berikut: (Sylvia, 1995)
1.      Jumlah kandungan besi dalam makanan
2.      Jenis besi dalam makanan (besi heme atau non heme)
3.      Adanya bahan penghambat atau pemacu absorpsi dalam makanan
4.      Jumlah cadangan besi dalam tubuh
5.      Kecepatan eritropoesis

Besi dalam makanan terikat pada molekul lain yang lebih besar. Di dalam lambung besi akan dibebaskan menjadi ion feri oleh pengaruh asam lambung (HCl). Di dalam usus halus, ion feri diubah menjadi ion fero oleh pengaruh pengaruh alkali. Ion fero inilah yang kemudian diabsorpsi oleh sel mukosa usus. Sebagian akan disimpan sebagai persenyawaan feritin dan sebagian masuk ke peredaran darah berikatan dengan protein yang disebut transferin. Selanjutnya transferin ini akan dipergunakan untuk sintesis hemoglobin. Sebagian dari transferin yang tidak terpakai akan disimpan sebagai labile iron pool. Ion fero diabsorbsi jauh lebih mudah daripada ion feri, terutama bila makanan mengandung vitamin atau fruktosa yang akan membentuk suatu kompleks besi yang larut, sedangkan fosfat, oksalat, dan fitat menghambat absorbsi besi.
Ekskresi besi dari tubuh sangat sedikit. Besi yang dilepaskan pada pemecahan hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk kembali ke dalam iron pool dan akan dipergunakan lagi untuk sintesa hemoglobin. Jadi di dalam tubuh yang normal kebutuhan akan besi sangat sedikit. Kehilangan besi melalui urin, tinja, keringat, sel kulit yang terkelupas, dan karena perdarahan (menstruasi) sangat sedikit. Oleh karena itu pemberian besi yang berlebihan dalam makanan dapat mengakibatkan terjadinya hemosiderosis (Staf pengajar FK UI, 2007).
F.    Etiologi Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun (Mansjoer, 2000).
1.      Asupan besi yang berkurang pada jenis makanan Fe non-heme, muntah berulang pada bayi, dan pemberian makanan tambahan yang tidak sempurna
2.      Malabrorpsi pada enteritis dan proses malnutrisi (PEM)
3.      Kehilangan atau pengeluaran besi berlebihan pada perdarahan saluran cerna kronis
4.      Kebutuhan besi yang meningkat oleh karena pertumbuhan yang cepat pada bayi dan anak, infeksi akut berulang, dan infeksi menahun
5.      Depo besi yang kurang seperti pada berat badan lahir rendah atau kembar
6.       Kombinasi dari etologi di atas


G.  Patogenesis Anemia Defisiensi Besi
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menurun, keadaan ini disebut iron depleted state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorpsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya (Sudoyo, 2007).
H.  Gejala Anemia Defisiensi Besi
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu: (Sudoyo, 2007)
Gejala umum anemia
Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku.
Gejala khas defisiensi besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah:
1.      Koilonychia yaitu kuku sendok, kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok
2.      Atrofi papil lidah, permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang
3.      Stomatis angularis yaitu adanya peradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan
4.      Disfagia yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
5.      Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
6.      Pica yaitu keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti tanah liat, es, lem, dll
Gejala penyakit dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang air besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut.
I.       Diagnosis dan Diagnosis Banding Anemia Defisiensi Besi
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Secara laboratorik untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi sebagai berikut: (Sacher, 2004)
1.      Anemia hipokromik mikrositer pada apusan darah tepi, atau MCV<80 fl dan MCHC<31%, parameter nya antara lain:
a.      Besi serum <50 mg/dl
b.      TIBC>350 mg/dl
c.       Saturasi transferin <15%
2.      Feritin serum <20 ug/dl
3.      Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan cadangan besi negatif
4.      Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200 mg/hari selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya, seperti: (Sudoyo, 2007)
1.      Anemia akibat penyakit kronik
2.      Thalassemia
3.      Anemia sideroblastik

J.       Terapi Anemia Defisiensi Besi
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi terhadap anemia defisiensi besi dapat berupa:
1.      Terapi kausal
Tergantung penyebabnya, misalnya pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menoragia. Terapi kausal harus dilakukan, jika tidak maka anemia akan kambuh kembali.
2.      Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh:
a.      Besi per oral, merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman. Preparat yang tersedia, yaitu ferrous sulphat dan ferrous gluconate.
b.      Besi parenteral, efek sampingnya lebih berbahaya serta harganya lebih mahal. Preparat yang tersedia, yaitu iron dextran complex, iron sorbitol citric acid complex. Efek sampingnya antara lain reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop.
3.      Pengobatan lain
Adapun pengobatan yang dapat dilakukan selain di atas, antara lain:
a.      Diet, sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani
b.      Vitamin C diberikan 3x100 mg per hari untuk meningkatkan absorpsi besi
c.       Transfusi darah, tetapi jarang dilakukan

K.   Pencegahan Anemia Defisiensi Zat Besi
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka diperlukan suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat berupa:
1.      Pendidikan kesehatan, yaitu:
a.      Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban dan perbaikan lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki
b.      Penyuluhan gizi, untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorpsi besi
2.      Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik paling sering di daerah tropik
3.      Suplementasi besi, terutama untuk segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan anak balita
4.      Fortifikasi bahan makanan dengan besi

BAB III
PEMBAHASAN

Pada skenario yang berjudul “Sering Mengantuk di Kelas” didapatkan beberapa masalah, antara lain:
Nama             : Anis
Jenis kelamin            : Laki-laki
Umur              : 5 tahun
Keluhan         : Sering demam, nafsu makan berkurang, sering mengantuk saat di sekolah, malas bermain dengan temannya
Riwayat         : Orang tua vegetarian, sejak kecil tidak senang daging dan susu
Inspeksi         : Konjungtiva pucat
Palpasi           : Tidak febris
Pemeriksaan :
Fisik        : BB=12 kg, nadi 80x/menit, repirasi 20x/menit, tidak terdapat abnormalitas bunyi jantung dan paru serta abdomen
Lab          : Hemoglobin 9,46 g/dl; eritrosit 4,65x106/ul; hematokrit 29,3%; MCV 63,0 Fl; MCH 20,4 pg, MCHC 32,3 g/dl, leukosit 8,73x103/ul; trombosit 320x103/mm3
Diagnosis      : Anemia defisiensi Fe (besi)
Dari kasus yang telah dipelajari, dapat dibuat bagan sebagai berikut:



Vegetarian + tidak suka daging&susu
Konjungtiva pucat, mengantuk di kelas, malas bermain
Hb ↓, Ht ↓, MCV↓, MCH ↓, MCHC↓
Dari riwayat keluarga yang vegetarian, dengan kata lain hanya memakan sayuran serta tidak diimbangi dengan daging, telur, serta produk hewani, maka penyakit anemia defisiensi besi sangat mungkin dialami oleh anak ini. Adapun dalam makanan terdapat 2 macam zat besi, yaitu besi heme dan non heme. Besi heme terdapat pada hampir semua jenis makanan hewani antara lain daging, ikan, ayam, hati, dll. Sedangkan besi non heme terdapat dalam sayuran hijau, kacang-kacangan, kentang, dan sebagainya. Dengan kata lain, anak kekurangan besi heme yang sangat dibutuhkan untuk keseimbangan tubuh.
Dari penyebab tersebut, dapat dijelaskan mengapa muncul keluhan-keluhan seperti yang telah disebutkan di atas. Misalnya saja sering mengantuk di kelas. Karena jumlah efektif sel darah merah berkurang yang diakibatkan oleh penurunan hemoglobin, maka lebih sedikit O2 yang dikirimkan ke jaringan, termasuk ke otak. Sehingga terjadi rasa ngantuk yang berpusat pada glandula pineal. Dari perasaan mengantuk inilah yang kemudian menimbulkan rasa malas bagi si anak untuk bermain dengan teman sebayanya (Price, 1995).
Salah satu dai tanda-tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah pucat. Ini umumnya diakibatkan oleh berkurangnya volume darah, berkurangnya hemoglobin, dan vasokontriksi untuk memperbesar pengiriman O2 ke organ-organ vital. Karena faktor-faktor seperti pigmentasi kulit, suhu, dan kedalaman serta distribusi kapiler mempengaruhi warna kulit, maka warna kulit bukan merupakan indeks pucat yang dapat diandalkan. Warna kuku, telapak tangan, dan membran mukosa mulut serta konjungtiva dapat digunakan untuk menilai kepucatan (Price, 1995).
Dari pemeriksaan fisik hitung nadi dan respirasi, didapatkan nadi 80x/menit dan respirasi 20x/menit. Kecepatan rata-rata denyut nadi pada anak-anak adalah 90-140x/menit. Anak mengalami bradikardi, yaitu melambatnya denyut nadi. Sedangkan kecepatan pernapasan pada saat istirahat berkisar antara 8-10x/menit. Dari hasil yang didapatkan terjadi peningkatan kecepatan pernapasan atau takipnea. Pada pemeriksaan fisik auskultasi, tidak ditemukan bunyi abnormal pada jantung, paru, dan abdomen (Delp, 1996).
Adapun pemeriksaan laboratorium yang dilakukan antara lain: (Sacher, 2004)
1.      Hemoglobin
Nilai normal untuk hemoglobin pada laki-laki adalah 13,5-18 g/dL, sedangkan untuk perempuan berkisar antara 12-16 g/dL. Nilai hemoglobin anak mengalami penurunan.
2.      Eritrosit
Nilai normal sel darah merah atau eritrosit pada laki-laki berkisar antara 4,6-6,2x106/ul, sedangkan untuk perempuan 4,2-5,4x106/ul. Nilai eritrosit anak masih dalam batas normal.
3.      Hematokrit
Hematokrit (packed red cell) dapat diukur pada darah vena atau kapiler dengan teknik mikro atau makrokapiler. Nilai normal nya  laki-laki yaitu 40-54%. Dalam kasus skenario, hematokrit mengalami penurunan.


4.      MCV
Besaran ini mencerminkan volume rata-rata sel sarah merah. Dengan pengitung elektronik, MCV diukur secara langsung, tetapi MCV dapat dihitung dengan membagi hematokrit dengan hitung sel darah merah yang dinyatakan dalam juta per mikroliter dan dan dikali 1000. Rentang normal adalah 80-98 fL. Dapat disimpulkan bahwa dalam kasus ini terjadi penurunan MCV.
5.      Hemoglobin sel rerata (MCH)
Besaran ini dihitung secara otomatis pada penghitung elektronik tetapi juga dapat ditentukan apabila hemoglobin dan hitung sel darah merah diketahui. Besaran ini dinyatakan dalam pikogram dan dapat dihitung dengan membagi jumlah hemoglobin per liter darah dengan jumlah sel darah merah per liter. Rentang normal adalah 26-32 pikogram. MCH anak dalam skenario juga mengalami penurunan.
6.      Konsentrasi hemoglobin sel rerata (MCHC)
Besaran ini juga dihitung dengan penghitung elektronik setelah pengukuran hemoglobin dan penghitungan hematokrit. Nilai rujukan berkisar dari 32-36%. Hematokrit anak mengalami penurunan. Ukuran (MCV) dan kandungan hemoglobin (MCHC) di setiap sel merupakan hal penting dalam mengevaluasi anemia dan kelainan hematologik lain. Ukuran sel dapat digambarkan sebagai  normositik dengan MCV normal, mikrositik apabila MCV lebih kecil dari pada normal, makrositik dengan MCV yang lebih besar daripada normal. derajat hemoglobinasi sel dapat diperkirakan dengan mengukur MHC dan dapat digambarkan sebagai pemilik hemoglobin rerata normal (normokromik) atau hemoglobin rerata yang kurang daripada normal (hipokromik).


7.      Leukosit
Nilai normal untuk leukosit pada laki-laki yaitu 4,5-11x103/ul. Dalam kasus ini, nilai leukosit masih dalam batas normal.
8.      Trombosit
Nilai normal untuk trombosit pada laki-laki yaitu 150-450x103/ul. Nilai trombosit pada anak masih dalam batas normal, karena nilainya 320x103/ul.
Dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan darah tepi. Banyak informasi diagnostik dapat diperoleh dengan memeriksa sel darah merah pada apusan darah tepi yang diwarnai dengan Wright-Giemsa. Sel darah merah normal berbentuk piringan bikonkaf. Hemoglobin menimbulkan warna oranye kemerahan pada sel yang diwarnai. Pewarnaan lebih dalam di bagian tepi sel dan secara bertahap memudar ke bagian tengah karena kedalaman larutan hemoglobin lebih besar di bagian tepi daripada di bagian tengah yang menggepeng. Pada kasus anemia, terdapat gambaran hipokrom. Hipokrom adalah penurunan intensitas pewarnaan hemoglobin yang terjadi apabila bagian kepucatan di tengah menempati lebih dari sepertiga garis tengah sel. Hipokrom hampir selalu berkaitan dengan penurunan MCHC (Sacher, 2004) 

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya mineral Fe sebagai bahan yang diperlukan untuk pematangan eritrosit. Anemia jenis ini merupakan anemia yang paling sering dijumpai. Penderita tampak lemas, mudah lelah, pucat, dll. Pada pemeriksaan didapatkan kadar hemoglobin kurang dari 10g/dl, mikrositik hipokrom, dengan peningkatan Ht, MCV serta MCH.
B.    Saran
Adapun saran yang dapat diberikan pada skenario ini, antara lain adalah:
1.      Berikan makanan yang bergizi seimbang atau 4 sehat 5 sempurna pada anak-anak
2.      Berikan cukup vitamin dan mineral untuk anak yang mengalami anemia
3.      Berikan suplemen besi pada anak
4.      Biasakan anak untuk meminum susu setiap hari

Leave a Reply