BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Enterobius vermicularis adalah parasit manusia yang terdapat di berbagai tempat. Lebih umum terjadi di daerah Eropa Barat dan Amerika Utara yang merupakan daerah dtngin. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya orang di daerah dingin jarang mandi dan mengganti baju dalam. Penyakit ini ditemukan terutama pada anak-anak. Contoh kasus pada anak-anak di Amerika Serikat dan Kanada telah menunjukkan insiden infeksi antara 30% hingga 80% dengan tingkat yang sama di eropa. Selain itu, diperkirakan lebih dari 200 juta orang terinfeksi Enterobius vermicularis setiap tahun. Sedangkan penelitian di Jakarta Timur melaporkan bahwa kelompok usia terbanyak yang menderita enterobiasis adalah kelompok usia 5-9 tahun yaitu terdapat 46 anak (54,1%) dari 85 anak yang diperiksa.


B.   Rumusan Masalah
Adapun masalah yang didapatkan antara lain:
1.      Apa definisi dari penyakit enterobiasis?
2.      Bagaimana morfologi dan daur hidup cacing Enterobius vermicularis?
3.      Bagaimana cara penularan penyakit enterobiasis?
4.      Apa saja gejala penyakit enterobiasis?
5.      Apa saja komplikasi yang dapat ditimbulkan?
6.      Apa diagnosis dan diagnosis banding dari penyakit enterobiasis?
7.      Bagaiamana pengobatan penyakit enterobiasis?



C.   Tujuan
Adapun tujuan yang didapatkan antara lain:
1.      Agar dapat mengetahui definisi dari penyakit enterobiasis
2.      Agar dapat mengetahui morfologi dan daur hidup cacing Enterobius vermicularis
3.      Agar dapat mengetahui cara penularan penyakit enterobiasis
4.      Agar dapat mengetahui gejala penyakit enterobiasis
5.      Agar dapat mengetahui komplikasi yang dapat ditimbulkan
6.      Agar dapat mengetahui diagnosis dan diagnosis banding dari penyakit enterobiasis
7.      Agar dapat mengetahui pengobatan penyakit enterobiasis

D.   Manfaat
Adapun tujuan yang didapatkan antara lain:
1.      Mengetahui definisi dari penyakit enterobiasis
2.      Mengetahui morfologi dan daur hidup cacing Enterobius vermicularis
3.      Mengetahui cara penularan penyakit enterobiasis
4.      Mengetahui gejala penyakit enterobiasis
5.      Mengetahui komplikasi yang dapat ditimbulkan
6.      Mengetahui diagnosis dan diagnosis banding dari penyakit enterobiasis
7.      Mengetahui pengobatan penyakit enterobiasis


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.   Definisi
Enterobiasis atau oxyuriz merupakan penyakit akibat infeksi nematoda genus Enterobius, khususnya Enterobius vermicularis atau Oxyuris vermicularis. Penyakit ini biasa dikenal dengan penyakit cacing kremi. Enterobius vermicularis telah diketahui sejak dahulu dan telah banyak dilakukan penelitian mengenai biologi, epidemiologi, dan gejala klinisnya. (Dorland, 2002)
B.   Epidemiologi
Penyebaran cacing kremi atau Enterobius vermicularis lebih luas daripada cacing lain. Penularan dapat terjadi pada suatu keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang sama (asrama, rumah piatu). Telur cacing dapat diisolasi dari debu di ruangan sekolah atau kafetaria sekolah dan mungkin ini menjadi sumber infeksi bagi anak-anak sekolah. Di berbagai rumah tangga dengan beberapa anggota keluarga yang mengandung Enterobiasis vermicularis dapat ditemukan (92%) di lantai, meja, kursi, bufet, tempat duduk kakus (toilet seats), bak mandi, alas kasur, pakaian, dan tilam (Gandahusada, 1998).
Frekuensi di Indonesia tinggi, terutama pada anak-anak lebih banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah. Frekuensi pada orang kulit putih lebih tinggi daripada orang negro (Sudoyo, 2007).


C.   Morfologi dan Daur Hidup
Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Pada ujung anterior ada pelebaran kutikulum seperti sayap yang disebut alae. Bulbus esofagus jelas sekali, ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh dengan telur. Sedangkan cacing jantan berukuran 2-5 mm, juga mempunyai sayap dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda tanya (?). Spikulum pada ekor jarang ditemukan. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum. Makanannya adalah isi dari usus. (Gandahusada, 1998)
Cacing betina gravid mengandung 11.000-15.000 butir telur, bermigrasi ke daerah perianal untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus dan vaginanya. Telur-telur jarang dikeluarkan di usus, sehingga jarang ditemukan di dalam tinja. Telur berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu sisi (asimetrik). Dinding telur bening dan agak lebih tebal dari dinding telur cacing tambang. Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira 6 jam setelah dikeluarkan, pada suhu badan. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. (Gandahusada, 1998)
Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi di sekum. Cacing jantan mati setelah kopulasi, sedangkan cacing betina mati setelah bertelur. Infeksi enterobiasis terjadi bila menelan telur matang atau bila larva dari telur yang menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus besar. Bila telur matang yang tertelan, telur menetas di duodenum dan larva rhabditiformis berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di yeyunum dan bagian atas ileum. (Gandahusada, 1998)
Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal, berlagsung kira-kira 1 bulan karena telur-telur cacing dapat ditemukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan. Infeksi cacing ini dapat sembuh sendiri (self limited). Bila tidak ada reinfeksi, tanpa pengobatan pun infeksi dapat berakhir. (Gandahusada, 1998)

D.   Cara Penularan
Anjing dan kucing bukan mengandung Enterobiasis vermicularis tetapi dapat menjadi sumber infeksi oleh karena telur dapat menempel pada bulunya. Adapun penularan penyakit enterobiasis dapat dipengaruhi oleh: (Staf IKA FK UI, 2007)
1.      Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal (autoinfeksi) atau tangan dapat menyebarkan telur kepada orang lain maupun kepada diri sendiri karena memegang benda-benda maupun pakaian yang terkontaminasi.
2.      Debu merupakan sumber infeksi oleh karena mudah diterbangkan oleh angin sehingga telur melalui debu dapat tertelan.
3.      Retroinfeksi melalui anus, yaitu larva dari telur yang menetas di sekitar anus kembali masuk ke anus.

E.    Gejala
Gejala klinis yang penting dan paling sering ditemukan adalah rasa gatal pada anus (pruritus ani), yang timbul terutama pada malam hari. Rasa gatal ini harus dibedakan dengan rasa gatal yang disebabkan oleh jamur, alergi dan pikiran. Gejala lain adalah anoreksi, badan menjadi kurus, sukar tidur dan pasien menjadi iritabel, seringkali terjadi terutama pada anak. Pada wanita dapat menyebabkan vaginitis. Cacing dewasa di dalam usus dapat menyebabkan gejala nyeri perut, rasa mual, muntah, diare yang disebabkan karena iritasi cacing dewasa pada sekum, apendiks dan sekitar muara anus besar. (Sudoyo, 2007)
Kadang-kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan di daerah tersebut. Selain itu, gejala lain yang didapatkan antara lain enuresis atau mengompol, cepat marah, gigi menggeretak, insomnia, dan masturbasi, tetapi masih sukar untuk membuktikan hubungan sebab akibat dengan Enterobius vermicularis. (Sudoyo, 2007)

F.     Diagnosis
Infeksi cacing sering diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di sekitar anus pada waktu malam hari. Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa. Telur cacing dapat diambil dengan mudah dengan alat anal swab yang ditempatkan di sekitar anus pada waktu pagi hari sebelum anak buang air besar dan mencuci pantat (cebok). (Sudoyo, 2007)
Anal swab adalah suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya dilekatkan scotch adhesive tape. Bila adhesive tape ini ditempelkan di daerah sekitar anus, telur cacing akan menempel pada perekatnya. Kemudian adhesive tape diratakan pada kaca benda dan dibubuhi sedikit toluol untuk pemeriksaan mikroskopik. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut (Gandahusada, 1998). Pemeriksaan darah tepi umumnya normal, hanya ditemukan sedikit eosinofilia (Sudoyo, 2007).

G.   Komplikasi
Bila jumlah cacing dewasa cukup banyak akan dapat menyebabkan apendisitis. Cacing dewasa pada wanita dapat bermigrasi ke dalam vagina, uterus, dan tuba falopii, dan dapat menyebabkan peradangan di daerah tersebut. (Staf IKA FK UI, 2007)

H.   Pengobatan
Obat-obat antihelmintik digunakan untuk mengurangi sejumlah parassit cacing di saluran cerna atau jaringan tubuh. Parasit ini mengalami proses biokimiawi dan fisiologi dengan inang mamalianya, sekarang dengan adanya perbedaan yang tidak jelas dapat dimulai untuk menghasilkan penelitian farmakologi. Kebanyakan antihelmintik yang digunakan sekarang ini aktif terhadap parasit spesifik dan beberapa bersifat toksik. Karena itu, parasit tersebut harus dikenali terlebih dahulu sebelum pengobatan dimulai, biasanya dengan menggunakan parasit, telur, atau larva di urin, tinja, darah, sputum, atau jaringan inang. (Katzung, 1998)
Seluruh anggota keluarga sebaiknya diberi pengobatan bila ditemukan salah seorang anggota terkena enterobiasis. Pengobatan secara periodik memberikan prognosis yang baik. Adapun obat-obat yang dapat diberikan antara lain: (Katzung, 1998)
1.      Mebendazol
Mebendazol menghambat sintesis mikrotubulus nematoda, sehingga mengganggu ambilan glukosa yang irreversibel. Akibatnya parasit intestinal diimobilisasi atau mati secara perlahan, dan bersihannya dari saluran cerna mungkin tidak lengkap sampai beberapa hari setelah pengobatan. Efikasi obat ini bervariasi dengan waktu transit saluran cerna, beratnya infeksi, serta apakah obat ini dikunyah atau tidak, dan mungkin dengan strain parasit. Mebendazol diberikan dosis tunggal 500 mg, diulang setelah 2 minggu.
2.      Albendazol
Albendazol menghambat ambilan glukosa oleh larva dan parasit stadium dewasa yang rentan, mengurangi penyimpanan glikogen dan menurunkan pembentukan ATP. Sebagai akibatnya, parasit diimobilisasi dan mati. Diberikan dosis tunggal 400 mg, diulang setelah 2 minggu.
3.      Pirantel pamoat
Pirantel pamoat efektif terhadap cacing bentuk matur atau imatur yang rentan dalam saluran cerna tetapi tidak efektif terhadap stadium migrasi dalam jaringan. Obat ini merupakan agen penghambat depolarisasi neuromuskular yang menyebabkan pelepasan asetilkolin, menghambat kolinesterase, dan merangsang reseptor ganglionik. Diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat badan sebagai dosis tunggal dan maksimum 1 gram.

I.       Pencegahan
Kebersihan perorangan penting untuk pencegahan. Kuku hendaknya selalu dipotong pendek, tangan dicuci bersih sebelum makan. Anak yang mengandung cacing kremi sebaiknya memakai celana panjang jika hendak tidur supaya alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan tidak dapat menggaruk daerah perianal. (Gandahusada, 1998)

BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario yang berjudul “Dubur Gatal di Malam Hari” didapatkan beberapa masalah, diantaranya:
Satrio, 8 tahun, 24 kg, datang ke puskesmas dihantarkan oleh ibunya karena sering mengeluh gatal di dubur terutama saat malam hari, nafsu makan dan berat badan turun, perutnya nyeri dan diare. Ibu membawa Satrio ke puskesmas dan menceritakan kepada dokter keluhan yang dialami anaknya tersebut. Dari hasil anamnesis dan diagnosis yang telah dilakukan, Satrio terkena penyakit enterobiasis yang disebabkan oleh Enterobius vermicularis, biasa dikenal dengan cacing kremi. Rasa gatal pada dubur di malam hari dikarenakan cacing betina gravid yang sedang hamil mengeluarkan telurnya di sekitar atau lipatan-lipatan anus saat malam. Saat itu di anus penderita terlihat cacing betina yang sedang mengeluarkan telurnya serta larva-larva yang sudah menetas. Selain itu berat badan dan nafsu makan anak menurun dikarenakan pada malam hari anak tidak dapat tidur nyenyak sehingga pada pagi hari nya anak merasa lemah serta lemas. Hal ini mengakibatkan nafsu makan anak berkurang yang kemudian menyebabkan berat badan menurun. Perut nyeri serta diare dikarenakan terjadinya iritasi di sekum ataupun di usus oleh cacing betina dewasa yang akan mengeluarkan telurnya di daerah perianal. (Gandahusada, 1998)
Pada pemeriksaan terlihat kuku jari tangan Satrio panjang dan kotor, matanya terlihat sayu dan berkantung. Di daerah perianal terlihat kemerahan bekas luka garukan karena pruritus ani. Dokter kemudian menanyakan kebiasaan sehari-hari Satrio. Ibu Satrio kemudian menjelaskan bahwa sehari-hari Satrio bermain kelereng di kebun dan bermain di sungai setelah pulanng sekolah. Satrio susah bila disuruh potong kuku dan jarang cuci tangan sebelum makan. Dari hasil inspeksi yang dilakukan, terllihat kuku Satrio panjang dan kotor karena kebiasaan bermain nya yang kurang sehat. Kuku yang panjang dan kotor dapat menjadi media bagi cacing kremi untuk masuk ke dalam tubuh Satrio. Apalagi sebelum makan, Satrio tidak mencuci tangannya terlebih dahulu. Jadi, cacing dapat masuk dengan mudah melalui makanan yang masuk ke mulut. Kemudian cacing akan berkembang di dalam tubuh Satrio. Mata Satrio yang terlihat berkantung dikarenakan insomnia atau tidak dapat tidur saat malam hari. Selain itu dapat juga terjadi karena nutrisi yang telah masuk dijadikan sumber makanan oleh cacing-cacing yang ada di dalam tubuh. Tanda khas pada penyakit enterobiasis adalah terdapatnya luka garuk pada daerah perianal atau sekitar anus. Penderita menggaruk bagian tersebut dikarenakan perasaan gatal yang menyerangnya di malam hari. (Sudoyo, 2007)
Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dokter mencurigai Satrio terkena penyakit cacing, oleh karena hygiene sanitasi yang jelek. Dan dokter merencanakan pemeriksaan anal swab dengan menggunakan scotch adhesive tape untuk menegakkan diagnosis dengan harapan menemukan telur cacing. Hygienen sanitasi yang jelek disini maksudnya kebiasaan bermain Satrio serta kebersihan pribadi yang tidak diperhatikan. Misalnya tidak mencuci tangan sebelum makan dan tidak memotong kuku nya. Pemeriksaan anal swab yaitu pemeriksaan dengan menggunakan segumpal kapas atau absorben lain yang dilekatkan erat pada pada kawat atau batang. Ujung dari anal swab diberi scotch adhesive tape, yaitu pita kain dan atau film dengan rata melapisi satu sisi dengan campuran adhesif, sensitif terhadap tekanan. Pemeriksaan ini dilakukan pada pagi hari sebelum penderita BAB atau mencuci pantat nya. Adapun cara pemeriksaannya yaitu ujung anal swab dilekatkan scotch adhesive tape kemudian adhesive tape ditempelkan di sekitar anus. Jika penderita menderita enterobiasis maka telur cacing menempel pada perekatnya. Adhesive tape diratakan pada kaca benda lalu diberi sedikit toluel untuk pemeriksaan mikroskopis. Pemeriksaan ini dilakukan 3 hari berturut-turut untuk memperkuat diagnosis. (Gandahusada, 1998)
Sambil menunggu hasil anal swab, dokter berpikir untuk memberikan resep obat pirantel pamoat 250 mg single dose yang diulang lagi setelah 2 minggu dan menyarankan untuk menjaga hygiene sanitasi. Kemudian ibu Satrio menanyakan “Apakah anak saya kreminen dok?”. Pirantel pamoat yang biasa dikenal dengan obat cacing combantrin efektif terhadap cacing bentuk matur atau imatur yang rentan dalam saluran cerna. Obat ini diberikan sebagai dosis tunggal serta diulangi dalam 2 dan 4 minggu, dikarenakan siklus hidup cacing yang berkisar antara 2 minggu. Kreminen merupakan istilah penyakit cacing yang biasa digunakan pada kalangan masyarakat Jawa. (Katzung, 1998)


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A.   Kesimpulan
Penyakit akibat cacing kremi dikenal dengan Enterobiasis sebagaimana nama latin cacing kremi yaitu Enterobious vermicularis. Penyebaran cacing kremi lebih banyak terjadi pada daerah dengan hawa dingin. Cacing kremi betina berukuran 8-13 mm x 0,44 mm dengan ekor panjang dan runcing sedangkan cacing kremi jantan berukuran 2-5 mm dengan ekor melingkar. Daur hidup cacing ini bekisar antara 2 minggu sampai 2 bulan. Penularan cacing kremi berkaitan dengan higiene sanitasi. Obat yang dapat diberikan diantaranya adalah mebendazol, pirantel pamoat, dll.
B.   Saran
Adapun saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan kasus pada skenario “Dubur Gatal di Malam Hari” adalah:
1.      Biasakan untuk memotong kuku dan mencuci tangan
2.      Jagalah kebersihan pribadi, misalnya rutin mengganti baju, dll
3.      Jagalah kebersihan lingkungan, misalnya membersihkan rumah dari debu serta kotoran

One Response so far.

Leave a Reply