BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Penyakit hemofilia terbagi menjadi 2, yaitu hemofilia A dan B. Angka kejadian hemofilia A sekitar 1:10.000 orang dan hemofilia B sekitar 1:25.000-30.000 orang. Belum ada data mengenai angka kekerapan di Indonesia, namun diperkirakan sekitar 20.000 kasus dari 200 juta penduduk saat ini. Kasus hemofilia A lebih sering dijumpai dibandingkan hemofilia B, yaitu berturut-berturut mencapai 80-85% dan 10-15% tanpa memandang ras, geografi dan keadaan sosial ekonomi. Mutasi gen secara spontan diperkirakan mencapai 20-30% yang terjadi pada passien tanpa riwayat keluarga (Sudoyo, 2007).



B.     Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang didapatkan antara lain:
1.      Apa definisi dari penyakit hemofilia?
2.      Apa saja macam-macam penyakit hemofilia?
3.      Bagaimana gejala dan tanda klinis penyakit hemofilia?
4.      Apa saja komplikasi dari penyakit hemofilia?
5.      Bagaimana diagnosis penyakit hemofilia?
6.      Apa saja diagnosis banding dari penyakit hemofilia?
7.      Bagaimana penatalaksanaan untuk penyakit hemofilia?

C.     Tujuan

Adapun tujuan yang didapatkan antara lain:
1.      Agar dapat menjelaskan definisi dari penyakit hemofilia
2.      Agar dapat menjelaskan macam-macam penyakit hemofilia
3.      Agar dapat menjelaskan gejala dan tanda klinis penyakit hemofilia
4.      Agar dapat menjelaskan komplikasi dari penyakit hemofilia
5.      Agar dapat menjelaskan diagnosis penyakit hemofilia
6.      Agar dapat menjelaskan diagnosis banding dari penyakit hemofilia
7.      Agar dapat menjelaskan penatalaksanaan untuk penyakit hemofilia

D.    Manfaat

Adapun manfaat yang didapatkan antara lain:
1.      Memahami definisi dari penyakit hemofilia
2.      Memahami macam-macam penyakit hemofilia
3.      Memahami gejala dan tanda klinis penyakit hemofilia
4.      Memahami komplikasi dari penyakit hemofilia
5.      Memahami diagnosis penyakit hemofilia
6.      Memahami diagnosis banding dari penyakit hemofilia
7.      Memahami penatalaksanaan untuk penyakit hemofilia

  
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Definisi
Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive pada kromosom X (Xh). Meskipun hemofilia merupakan penyakit herediter tapi sekitar 20-30% pasien tidak memiliki riwayat keluarga dengan gangguan pembekuan darah, sehingga diduga terjadi mutasi spontan akibat lingkungan endogen ataupun eksogen (Sudoyo, 2007).
B.     Sejarah
Meski belum memiliki nama, hemofilia telah ditemukan sejak lama. Talmud, yaitu sekumpulan tulisan para rabi Yahudi, 2 abad setelah masehi menyatakan bahwa seorang bayi laki-laki tidak harus dikhitan jika dua kakak laki-lakinya mengalami kematian akibat dikhitan. Selain itu, seorang dokter asal Arab, Albucasis, yang hidup pada abad ke-12 menulis tentang sebuah keluarga yang setiap anak laki-lakinya meninggal setelah terjadi perdarahan akibat luka kecil.
Pada tahun 1803, Dr. John Conrad Otto, seorang dokter asal Philadelphia menulis sebuah laporan mengenai perdarahan yang terjadi pada suatu keluarga tertentu saja. Ia menyimpulkan bahwa kondisi tersebut diturunkan hanya pada pria. Ia menelusuri penyakit tersebut pada seorang wanita dengan tiga generasi sebelumnya yang tinggal dekat Plymouth, New Hampshire pada tahun 1780.
Kata hemofilia pertama kali muncul pada sebuah tulisan yang ditulis oleh Hopff di Universitas Zurich, tahun 1828. Dan menurut ensiklopedia Britanica, istilah hemofilia (haemophilia) pertama kali diperkenalkan oleh seorang dokter berkebangsaan Jerman, Johann Lukas Schonlein (1793 - 1864), pada tahun 1928.
Hemofilia juga disebut dengan "The Royal Diseases" atau penyakit kerajaan. Ini di sebabkan Ratu Inggris, Ratu Victoria (1837 - 1901) adalah seorang pembawa sifat/carrier hemofilia. Anaknya yang ke delapan, Leopold adalah seorang hemofilia dan sering mengalami perdarahan. Leopold meninggal dunia akibat perdarahan otak pada saat ia berumur 31 tahun.
Salah seorang anak perempuan Victoria yaitu Alice, ternyata adalah carrier hemofilia dan anak laki-laki dari Alice, Viscount Trematon, juga meninggal akibat perdarahan otak pada tahun 1928. Alice dan Beatrice, adalah carrier dan merekalah yang menyebarkan penyakit hemofilia ke Spanyol, Jerman dan Keluarga Kerajaan Rusia.
Pada abad ke 20, pada dokter terus mencari penyebab timbulnya hemofilia. Hingga mereka percaya bahwa pembuluh darah dari penderita hemofilia mudah pecah. Kemudian pada tahun 1937, dua orang dokter dari Havard, Patek dan Taylor, menemukan pemecahan masalah pada pembekuan darah, yaitu dengan menambahkan suatu zat yang diambil dari plasma dalam darah.
Zat tersebut disebut dengan "anti - hemophilic globulin". Di tahun 1944, Pavlosky, seorang dokter dari Buenos Aires, Argentina, mengerjakan suatu uji coba laboratorium yang hasilnya memperlihatkan bahwa darah dari seorang penderita hemofilia dapat mengatasi masalah pembekuan darah pada penderita hemofilia lainnya dan sebaliknya. Secara kebetulan, ia menemukan dua jenis penderita hemofilia dengan masing - masing kekurangan zat protein yang berbeda - Faktor VIII dan Faktor IX. Dan hal ini di tahun 1952, menjadikan hemofilia A dan hemofilia B sebagai dua jenis penyakit yang berbeda.
Kemudian di tahun 1960-an, cryoprecipitate ditemukan oleh Dr. Judith Pool.Dr. Pool menemukan bahwa pada endapan di atas plasma yang mencair mengandung banyak Faktor VIII. Untuk pertama kalinya Faktor VIII dapat dimasukkan pada penderita yang kekurangan, untuk menanggulangi perdarahan yang serius. Bahkan memungkinkan melakukan operasi pada penderita hemofilia.
Walaupun Hemofilia telah dikenal lama di ilmu dunia kedokteran, namun baru pada tahun 1965, diagnosis melalui laboratorium baru diperkenalkan oleh Kho Lien Kheng. Diagnosis laboratorium yang diperkenalkannya menggunakan Thromboplastin Generation Test (TGT), selain pemeriksaan waktu perdarahan dan masa waktu pembekuan darah. Pada saat itu pemberian darah lengkap segar merupakan satu-satunya cara pengobatan yang tersedia di rumah sakit (Sudoyo, 2007).
C.     Macam
Studi genetik molekular telah mengenal berbagai macam cacat yang ditemukan pada hemofilia yaitu hilangnya sebagian atau seluruhnya dari faktor VIII gen. Begitu juga perubahan tunnggal basa, yang membentuk baik itu signal berhenti translasional (disebut nonsense mutasi) dengan konsekuensi sintesis protein yang terpotong yang secara fungsional tidak efektif dan cepat mengalami degradasi, atau substitusi asam amino tunggal yang mengubah stabilitas dan fungsi protein. Mutasi yang terjadi de novo menerangkan proporsi substansial dari penderita yang terkena (sekitar 30%). Cacat yang dibedakan dalam faktor IX gen dapat dilihat pada hemofilia B (Underwood, 1999).
Derajat
Faktor VIII % normal
Gambaran
Berat


Sedang

Ringan
0–1


1–3

>3
Perdarahan yang sering terjadi dan spontan dalam sendi dan jaringan lunak mulai lahir. Penyakit sendi yang degeneratif.
Perdarahan setelah trauma, termasuk cabut gigi/hanya pembedahan lain. Memar.
Perdarahan hanya setelah trauma. Dapat subklinis dalam bentuk yang paling ringan.
(Underwood, 1999)
Secara ringkas, sampai saat ini dikenal 2 macam hemofilia yang diturunkan secara sex-linked recessive, yaitu:
1.      Hemofilia A (hemofilia klasik), akibat defisiensi atau disfungsi faktor pembekuan VIII (F VIIIc)
2.      Hemofilia B (Christmas disease) akibat defisiensi atau disfungsi F IX (faktor Christmas)
Sedangkan hemofilia C merupakan penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor XI yang diturunkan secara autosomal recessive pada kromosom 4q32q35.
D.    Gejala dan Tanda Klinis
Beratnya gejala tergantung kepada pengaruh kelainan gen yang terjadi terhadap aktivitas faktor VII dan faktor IX. Jika aktivitasnya kurang dari 1%, maka akan terjadi episode perdarahan hebat dan berulang tanpa alasan yang jelas. Jika aktivitasnya mencapai 5% maka gejalanya ringan. Jarang terjadi episode perdarahan tanpa sebab yang pasti, tetapi pembedahan atau cedera bisa menyebabkan perdarahan yang tak terkendali, yang bisa berakibat fatal.
Adapun gejala serta tanda yang dapat terjadi pada penyakit hemofilia antara lain:
1.      Perdarahan merupakan gejala yang sering dijumpai. Perdarahan dapat timubul secara spontan atau akibat trauma ringan sampai sedang serta dapat timbul saat bayi mulai belajar merangkak.
2.      Hemarthrosis atau ekstravasasi darah ke dalam sendi atau rongga sinovial sendi ini merupakan gejala yang juga sering dijumpai, sekitar 85% kasus.
3.      Hematoma intramuskular terjadi pada otot-otot fleksor besar, khususnya pada otot betis, otot-otot regio iliopsoas (sering pada panggul) dan lengan bawah. Hematoma ini sering menyebabkan kehilangan darah yang nyata, sindrom kompartemen, kompresi saraf dan kontraktur otot.
4.      Perdarahan intrakranial merupakan penyebab utama kematian, dapat terjadi perdarahan spontan atau sesudah trauma.
5.      Hematuria masif sering ditemukan dan dapat menyebabkan kolik ginjal tetapi tidak mengancam kehidupan.
E.     Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul adalah akibat dari perdarahan atau transfusi darah. Komplikasi akibat perdarahan adalah anemia, ambulasis atau deformitas sendi, atrofi otot, atau neuritis.
F.      Diagnosis
Sampai saat ini riwayat keluarga masih merupakan cara terbaik untuk melakukan tapisan pertama terhadap kasus hemofilia, meskipun terdapat 20-30% kasus hemofilia terjadi akibat mutasi spontan kromosom X pada gen penyandi F VIII atau F XI. Seorang anak laki-laki diduga menderita hemofilia jika terdapat riwayat perdarahan berulang (hemarthrosis, hematom) atau riwayat perdarahan memanjang setelah trauma atau tindakan tertentu dengan atau tanpa riwayat keluarga. Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting sebelum memutuskan pemeriksaan penunjang lainnya (Sudoyo, 2007).
Setelah diagnosis kerja dibuat, perlu ditentukan tingkat atau kadar aktivitas faktor dan apakah terdapat suatu inhibitor. Antibodi antifaktor VIII dijumpai pada 5-10% pengidap hemofilia klasik yang sudah diobati;antibodi jarang ditemukan pada diagnosis awal. Antibodi faktor IX lebih jarang dijumpai. Apabila penggantian dalam jumlah adekuat gagal memperlihatkan efek terapi, atau apabila PTT tetap sangat abnormal setelah pengobatan, harus dicurigai adanya antibodi. Adanya inhibitor dibuktikan dengan menginkubasi plasma pasien dengan sejumlah tertentu faktor VIII atau faktor IX dan mengukur aktifitas koagulan dari campuran yang terbentuk. Hal ini dapat dilakukan dengan menentukan PTT atau dengan melakukan pemeriksaan inhibitor spesifik yang menentukan seberapa banyak faktor VIII atau IX dinetralisasi oleh inhibitor (Sacher, 2004).
Seorang perempuan diduga sebagai pembawa sifat hemofilia (karier) jika dia memiliki lebih dari satu anak laki-laki pasien hemofilia atau mempunyai seorang atau lebih saudara laki-laki dan seorang anak laki-laki pasien hemofilia atau ayahnya pasien hemofilia. Deteksi pada hemofilia A karier dapat dilakukan dengan menghitung rasio aktifitas F VIIIc dengan antigen F VIIIvW. Jika nilai kurang dari 1 memiliki ketepatan dalam  menentukan hemofilia karier sekitar 90%, namun hati-hati pada keadaan hamil, memakai kontrasepsi hormonal dan terdapatnya penyakit hati karena dapat meningkatkan aktifitas F VIIIc. Aktifitas F VIII rata-rata pada karier 50%, tetapi kadang-kadang <30% dan dapat terjadi perdarahan sesudah trauma atau pembedahan. Analisis genetika dengan menggunakan DNA probe, yaitu dengan cara mencari lokus polimorfik pada kromosom X akan memberikan informasi yang lebih tepat (Sudoyo, 2007).
G.    Diagnosis Banding
Adapun diagnosis banding untuk penyakit hemofilia antara lain: (Sylvia, 1995)
1.      Hemofilia A dan B dengan defisiensi faktor IX dan XII
2.      Hemofilia A dengan penyakit von Willebrand (khususnya varian Normandy), inhibitor F VIII yang didapat dan kombinasi defisiensi F VIII dan V kongenital
3.      Hemofilia B dengan penyakit hati, pemakaian warfarin, defisiensi vitamin, sangat jarang inhibitor F IX yang didapat

H.    Penatalaksanaan
Pengobatan serta pencegahan yang dapat dilakukan untuk penyakit hemofilia antara lain: (Sudoyo, 2007)
1.      Terapi suportif
Pengobatan rasional pada hemofilia adalah menormalkan kadar faktor anti hemofilia yang kurang. Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
a.      Melakukan pencegahan baik menghindari luka atau benturan
b.      Merencanakan suatu tindakan operasi serta mempertahankan kadar aktivitas faktor pembekuan sekitar 30-50%
c.       Untuk mengatasi perdarahan akut yang terjadi maka dilakukan tindakan pertama seperti rest, ice, compressio, elevation (RICE) pada lokasi perdarahan
d.      Kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sangat membantu untuk menghilangkan proses inflamasi pada sinovitis akut yang terjadi setelah serangan akut hemarthrosis. Pemberian prednison 0,5-1 mg/kg BB/hari selama 5-7 hari dapat mencegah terjadinya gejala sisa berupa kaku sendi (artrosis) yang mengganggu aktifitas harian serta menurunkan kualitas hidup pasien hemofilia.
e.       Analgetika. Pemakaian analgetika diindikasikan pada pasien hemarthrosis dengan nyeri hebat, dan sebaiknya dipilih analgetika yang tidak mengganggu agregasi trombosit.
f.        Rehabilitasi medik
Sebaiknya dilakukan sedini mungkin secara komprehensif dan holistik dalam sebuah tim, karena keterlambatan pengelolaan akan menyebabkan kecacatan dan ketidakmampuan baik fisik, okupasi maupun psikososial dan edukasi.
2.      Terapi pengganti faktor pembekuan
Pemberian faktor pembekuan dilakukan 3 kali seminggu untuk menghindari kecacatan fisik (terutama sendi) sehingga pasien hemofilia dapat melakukan aktivitas normal. Namun untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan antihemofilia yang cukup banyak dengan biaya yang tinggi.
3.      Konsentrat F VIII/F IX
Hemofilia A berat maupun hemofilia ringan dan sedang dengan episode perdarahan yang serius membutuhkan koreksi faktor pembekuan dengan kadar yang tinggi yang harus diterapi dengan konsentrasi F VIII yang telah dilemahkan virusnya.
4.      Kriopresipitat AHF
Merupakan salah satu komponen darah non seluler yang merupakan konsentrat plasma tertentu yang mengandung F VIII, fibrinnogen, faktor von Willebrand.
5.      Terapi gen
Penelitian terapi gen dengan menggunakan vektor retrovirus, adenovirus dan adeno-associated virus memberikan harapan baru bagi pasien hemofilia.
BAB III
PEMBAHASAN

Pada skenario yang berjudul “Mengapa anak saya sering memar-memar, Dok?” didapatkan beberapa masalah, diantaranya:
Nama              : Anton
Umur              : 3 tahun
Keluhan          : Memar setelah jatuh dari tangga 2 minggu yang lalu, hemarthrosis, sendi bertambah bengkak, tidak terjadi mimisan
Hasil lab         : Hb 10 mg/dL, AL 6000/µL, AT 257.000/µL, PT normal/APTT memanjang, Rumple Leede (-)
Riwayat          : Kakak kandung laki-lakinya meninggal pada usia 5 tahun dan mengalami keluhan yang serupa, sedangkan pamannya juga meninggal pada usia yang masih muda
Diagnosis        : Hemofilia
Informasi spesifik yang diperoleh dari pasien dapat sangat bermanfaat dalam mengarahkan uji laboratorium. Anamnesis harus mencakup hal berikut: (Sacher, 2004)
1.      Presentasi gejala
Perlu diketahui apakah kecenderungan perdarahan merupakan masalah baru atau apakah pasien telah menyadari bahwa ia gampang memar sejak masa anak-anak. Terjadinya kelainan hemostatik pada bayi laki-laki pada saat sirkumsisi mungkin mengisyaratkan gangguan perdarahan kongenital atau herediter. Jelas bahwa riwayat perdarahan yang sudah lama terjadi akan mengisyaratkan gangguan trombosit atau koagulasi kongenital.


2.      Awitan perdarahan
Apakah perdarahan dipicu oleh cedera, atau terjadi secara spontan. Perdarahan spontan lebih sering dijumpai pada sindrom hemofilia dan penyakit von Willebrand. Kelainan hemostatik yang hanya bermanifestasi setelah trauma atau perdarahan mungkin menunjukkan defisiensi ringan faktor koagulasi atau defisiensi faktor XI atau XIII.
3.      Letak perdarahan
Kelainan faktor koagulasi seperti hemofilia jarang menyebabkan perdarahan seperti selaput lendir, dan lebih sering bermanifestasi sebagai perdarahan spontan ke dalam sendi, terutama siku dan lutut.
4.      Riwayat keluarga
Penting karena kecenderungan keterkaitan dengan jenis kelamin mungkin menunjukkan hemofilia (defisiensi faktor VIII) atau penyakit Christmas (defisiensi faktor IX). Jelaslah, dalam hal ini anggota keluarga laki-laki, terutama dari pihak ibu, terkena.
5.      Obat
Obat-obat tertentu mungkin berkaitan dengan gangguan fungsi trombosit, terutama aspirin dan obat anti-inflamasi nonsteroid.
6.      Penyakit sistemik lain
Pasien harus segera ditanya mengenai kemungkinan penyakit sistemik lain yang dapat dikaitkan dengan gangguan perdarahan, seperti infeksi yang baru terjadi, adanya penyakit hematologik lain, defisiensi gizi, penyakit autoimmun, dan penyakit hati. Memar sulit dievaluasi berdasarkan anamnesis karena hal ini sangat sering terjadi, terutama di paha dan lengan atas. Durasi gejala dapat menentukan apakah kelainan bersifat kongenital atau didapat, dan letak anatomik perdarahan penting untuk menentukan sifat kelainan hemostatik.
Warna kulit bergantung pada besarnya jumlah darah di pleksus vena subpapilaris kulit. Hemarthrosis adalah ekstravasasi darah ke dalam sendi atau rongga sinovial sendi. Hemarthrosis paling sering ditemukan dengan lokasi berturut-turut sebagai berikut; sendi lutut, siku, pergelangan kaki, bahu, pergelangan tangan dan lainnya. Sendi engsel lebih sering mengalami hemarthrosis dibandingkan dengan sendi peluru, karena ketidakmampuannya menahan gerakan berputar dan menyudut pada saat gerakan volunter maupun involunter, sedangkan sendi peluru lebih mampu menahan beban tersebut karena fungsinya (Sudoyo, 2007).
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai Hb 10 mg/dL yang masih dalam batas normal. Adapun nilai Hb berkisar antara 13,5-18 g/dL. AL dan AT juga masih dalam batas normal. AL normal yaitu 4,5-11 x 103/µL, sedangkan nilai AT berkisar antara 150-450 x 103/µL (Sacher, 2004).
PT (waktu protrombin) adalah uji koagulasi yang paling sering dilakukan. Reagen untuk waktu protrombin adalah tromboplastin jaringan dan kalsium terionisasi. Apabila ditambahkan ke plasma yang mengandung sitrat, reagen-reagen ini akan menggantikan faktor jaringan untuk mengaktifkan faktor X dengan keberadaan faktor VII tanpa melibatkan trombosit atau prokoagulan jalur intrinsik. Untuk mendapat hasil PT yang normal, plasma harus mengandung paling sedikit 100 mg/dL fibrinogen dan kadar faktor VII, X, V, dan protrombin yang memadai. Nilai PT bergantung pada jenis reagen yang digunakan sehingga memperlihatkan variasi antar laboratorium yang lebar. Angka normal PT yaitu 11-13 detik atau dalam 2 detik kontrol. Sedangkan APTT (waktu tromboplastin parsial aktif) memiliki angka normal 28-40 detik atau dalam 5 detik kontrol. PT yang normal dengan PTT memanjang menunjukkan defisiensi faktor VIII, IX, XI, dan XII (Sacher,  2004).
Ibu bertanya, “Kenapa kedua anak lelaki saya mengalami penyakit yang serupa, Dok?”. Hal ini dikarenakan penyakit hemofilia diturunkan secara genetik melalui kromosom wanita. Oleh karena itu, wanita hampir tidak pernah menderita penyakit hemofilia karena paling sedikit satu dari kedua kromosom X-nya mempunyai gen-gen yang sempurna. Bila salah satu kromosom X-nya mengalami defisiensi, ia akan menjadi carrier hemofilia, menurunkan penyakit pada separuh anak prianya dan menurunkan sifat carier hemofilia kepada separuh anak wanitanya (Guyton, 2006).

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Hemofilia merupakan gangguan perdarahan herediter yang dapat timbul pada defisiensi atau gangguan fungsional faktor pembekuan plasma yang manapun, kecuali faktor XII, prekalikrein, dan kininogen berat molekul tinggi (HMWK). Anak lelaki dari seorang wanita karier hemofilia mempunyai kemungkkinan 50% menjadi penderita hemofilia. Hemofilia dibagi menjadi 2 macam, yaitu hemofilia A dan B. Gejala yang dapat ditimbulkan antara lain adalah perdarahan, hemarthrosis, hematom, hematuria, dll.
B.     Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dalam skenario ini antara lain:
1.      Jaga berat badan tubuh anak agar tetap ideal dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang menyehatkan. Karena, berat badan berlebih dapat mengakibatkan perdarahan pada sendi-sendi di bagian kaki.
2.      Olahraga teratur sesuai dengan yang dianjurkan oleh dokter yang menangani. Pilih olahraga yang aman untuk anak, misalnya berenang. Dan hindari olahraga fisik yang terlalu berat dan beresiko tinggi terluka, seperti sepakbola. Kondisi fisik yang baik dan bugar dapat mengurangi jumlah perdarahan.
3.      Rawat gusi dan gigi anak dengan baik serta lakukan pemeriksaan kesehatan gigi dan gusi secara rutin. Sebab sedikit masalah pada gigi dan gusi bisa mengakibatkan perdarahan.

One Response so far.

  1. Unknown says:

    Thanks kakak ilmunya (y)

Leave a Reply