BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Sistem imun merupakan sistem perlindungan tubuh dari pengaruh luar yang membahayakan. Terdiri atas rangkaian rumit yang berisi sel, jaringan, serta organ-organ yang menyatu satu sama lain untuk melawan benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Jika sistem imun bekerja dengan benar, sistem itu akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Selain melindungi tubuh, sistem imun atau sistem kekebalan juga berfungsi memberikan pengawasan terhadap sel tumor. Tetapi, jika sistem imun memberikan perlindungan yang berlebihan maka dapat merugikan tubuh itu sendiri. Karena berakibat menimbulkan penyakit yang bersifat patologik.


B.   Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang didapatkan antara lain:
1.      Apa yang dimaksud dengan reaksi hipersensitivitas?
2.      Bagaimana klasifikasi dan mekanisme dari setiap reaksi hipersensitivitas?
3.      Apa saja manifestasi klinis yang ditimbulkan tiap reaksi hipersensitivitas?
4.      Apa definisi dari atopi?
5.      Apa saja kriteria mayor dan minor dari atopi?
6.      Bagaimana cara pemeriksaan IgE?
7.      Bagaimana penatalaksanaan penyakit atopi?

C.   Tujuan
Adapun tujuan yang didapatkan antara lain:
1.      Agar dapat mengetahui definisi dari reaksi hipersensitivitas
2.      Agar dapat mengetahui klasifikasi dan mekanisme dari setiap reaksi hipersensitivitas
3.      Agar dapat mengetahui manifestasi klinis yang ditimbulkan tiap reaksi hipersensitivitas
4.      Agar dapat mengetahui definisi atopi
5.      Agar dapat mengetahui kriteria mayor dan minor dari atopi
6.      Agar dapat mengetahui cara pemeriksaan IgE
7.      Agar dapat mengetahui penatalaksanaan penyakit atopi

D.   Manfaat
Adapun manfaat yang didapatkan antara lain:
1.      Mengetahui definisi dari reaksi hipersensitivitas
2.      Mengetahui klasifikasi dan mekanisme dari setiap reaksi hipersensitivitas
3.      Mengetahui manifestasi klinis yang ditimbulkan tiap reaksi hipersensitivitas
4.      Mengetahui definisi atopi
5.      Mengetahui kriteria mayor dan minor dari atopi
6.      Mengetahui cara pemeriksaan IgE
7.      Mengetahui penatalaksanaan penyakit atopi


BAB II
PEMBAHASAN
A.   Tinjauan Pustaka
Reaksi Hipersensitivitas
Definisi
Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh (Karnen, 2006). Reaksi yang terjadi dibawa, baik melalui imunitas humoral (antibodi) maupun CMI (limfosit-T yang sensitif). Pada sebagian besar keadaan, reaksi hipersensitivitas disebabkan oleh antigen asing, seperti serbuk bunga, jamur, substansi makanan, dan obat-obatan (Underwood, 1999).
Klasifikasi reaksi hipersensitivitas
            Jenis-jenis penyakit hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen. Penyakit hipersensitivitas dibagi menurut tipe respon imun dan mekanisme efektor yang menimbulkan kerusakan sel dan jaringan.
Reaksi hipersensitivitas menurut waktu
Dapat dibagi menurut waktu terjadinya reaksi, yaitu reaksi cepat, intermediet, dan lambat.
1.      Reaksi cepat
Terjadi dalam hitungan detik, serta hilang dalam waktu 2 jam. Antigen yang diikat IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasinya dapat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal seperti pilek, bersin, asma, urtikaria, dan eksema.
2.      Reaksi intermediet
Terjadi setelah beberapa jam dan hilang dalam 24 jam. Reakis ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen. Reaksi intermediet diawali oleh IgG yang disertai kerusakan jaringan pejamu oleh sel netrofil atau sel NK. Manifestasinya berupa:
a.       Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun.
b.      Reaksi arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid, dan LES.
3.      Reaksi lambat
Terlihat sampai sekitar 48 jam setelah pajanan dengan antigen. Terjadi akibat aktivasi sel Th. Pada DTH yang berperan adalah sitokin yang dilepas sel T yang mengaktifkan makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan. Manifesstasi klinisnya yaitu dermatitis kontak, reaksi mikobakterium tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.
(Karnen, 2006)
Reaksi hipersensitivitas menurut mekanisme
            Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip HH Gell pada tahun 1963 dibagi dalam 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, IV (Karnen, 2006).
1.      Reaksi hipersensitivitas tipe I
Disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi. Timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I mulanya antigen masuk ke tubuh dan merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel Th. IgE diikat oleh sel mast atau basofil melalui reseptor Fcɛ. Apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast atau basofil. Akibat ikatan tersebut, sel mast atau basofil mengalami degranulasi dan melepas mediator (Karnen, 2006). Senyawa vasoaktif yang dilepaskan oleh sel mast atau basofil, yaitu:
·         Histamin
·         Faktor kemotaktik eosinofilik
Senyawa lain yang juga dilepaskan yaitu substansi reaksi lambat anafilaksis yang disintesis oleh sel. Substansi tersebut terdiri atas:
·         Prostaglandin
·         Leukotrin
·         Tromboksan
·         Faktor pengaktif trombosit
Efek kombinasi dari senyawa-senyawa ini menimbulkan pelebaran pembuluh darah, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, edem (pembengkakan yang disebabkan oleh masuknya serum ke dalam jaringan), dan masuknya eosinofil yang khas pada respons atopik lokal. Pada kasus asma, menyebabkan sekresi berlebihan dan kelenjar mukus bronkus dan spasme bronkus (Underwood, 1999).
Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:
·         Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast atau basofil.
·         Fase aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul  yang menimbulkan reaksi.
·         Fase efektor, yaitu waktu terjadi respon yang kompleks sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.
(Karnen, 2006)
Contoh yang sering dari hipersensitivitas tipe I ialah demam, pilek, eksema pada masa kanak-kanak, dan asma ekstrinsik. Diagnosis hipersensitivitas tipe I biasanya dibuat dengan memperlihatkan adanya hubungan antara pemaparan antigen dalam lingkungan tertentu dan timbulnya gejala pada waktu anamnesis yang teliti (Underwood, 1999).
2.      Reaksi hipersensitivitas tipe II
Disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R. Sel NK dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. (Karnen, 2006). Karakteristik hipersensitivitas tipe II ialah pengrusakan sel dengan mengikat antibodi yang spesifik pada permukaan sel.  Kerusakan sel yang terjadi utamanya bukan merupakan hassil pengikatan antibodi, ini tergantung pada bantuan limfosit lainnya atau makrofag atau pada sistem komplemen. Manifestasi yang sering dari reaksi hipersensitivitas reaksi ini melibatkan sel-sel darah, sel jaringan lainnya dapat juga diikutsertakan. Misalnya saja pada anemia hemolitik autoimun dan trombositopenia (Underwood, 1999).
3.      Reaksi hipersensitifitas tipe III
Disebut juga reaksi kompleks imun. Terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam sirkulasi atau dinding pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Kompleks imun akan mengaktifkan sejumlah komponen sistem imun. Komplemen yang diaktifkan melepas anafilaktosis yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin. Mediator lainnya dan MCF mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan protein polikationik. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mikrotombi dan melepas amin vasoaktif, selain itu komplemen mengaktifkan makrofag yang melepas IL-1 dan produk lainnya. Bahan vasoaktif yang dibentuk sel mast dan trombosit menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan inflamasi. Neutrofil ditarik dan mengeliminasi kompleks. Bila neutrofil terkepung di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks dan akan melepas granulnya (angry cell). Kejadian ini menimbulkan banyak kerusakan jaringan. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepas berbagai mediator, antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Manifestasi klinisnya antara lain lupus eritamatosis sistemik, penyakit serum, artritis reumatoid, infeksi malaria, virus, dan lepra (Karnen, 2006).

4.      Reaksi hipersensitivitas tipe IV
Terjadi setelah 12 jam. Hipersensitivitas tipe ini dibagi dalam Delayed Type Hypersensitivity yang terjadi melalui sel CD4 dan T Cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8.
·         Delayed Type Hipersensitivity (DTH)
Pada DTH, sel CD4 Th1 mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai sel efektor. CD4 Th1 melepas sitokin yang mengaktifkan makrofag dan menginduksi inflamasi. Pada DTH, kerusakan jaringan disebabkan oleh produk makrofag yang diaktifkan seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediat, oksida nitrat, dan sitokin proinflamasi. DTH dapat juga terjadi sebagai respon terhadap bahan yang tidak berbahaya dalam lingkungan seperti nikel yang menimbulkan dermatitis kontak. Pada keadaan yang paling menguntungkan DTH berakhir dengan hancurnya mikroorganisme oleh enzim lisosom dan produk makrofag lainnya seperti peroksid radikal dan superoksid. DTH dapat merupakan reaksi fisiologik terhadap patogen yang sulit disingkirkan misalnya M. Tuberkulosis.
·         T Cell Mediated Cytolysis
Dalam T Cell Mediated Cytolysis, kerusakan terjadi melalui sel CD8 yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit yang ditimbulkan hipersensitivitas selular cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik.
Manifestasi klinisnya antara lain dermatitis kontak, diabetes insulin dependen, artritis reumatoid, sklerosis multipel, infeksi, dll (Karnen, 2006).
Perbandingan efek imunitas yang diharapkan dan yang tidak diharapkan
Reaksi
Reaktan imun
Efek yang diharapkan
Efek yang tidak diharapkan
Tipe I
Antibodi IgE
Permeabilitas vaskuler meningkat, antibodi, sel, dan komplemen masuk ke jaringan.
Hay fever, asma ekstrinsik, anafilaksis
Tipe II
Antibodi IgE/IgM
Membunuh  bakteri
Anemia hemolitik
Tipe III
Antibodi IgG
Mobilisasi polimorf ke tempat infeksi
Glomerulonefritis, vaskulitis
Tipe IV
Limfosit T
Menghancurkan virus, membunuh sel terinfeksi
Penolakan cangkokan, tuberkulosis, lepra
(Underwood, 1999)

A.   Analisis Skenario
Dalam skenario, didapatkan masalah-masalah sebagai berikut:
            Ananda, bayi laki-laki menderita kemerahan pada pipi sejak 1 bulan lalu. Pada pemeriksaan didapatkan daerah eczematous disertai indurasi dan krusta.  Dapat disimpulkan bahwa bayi tersebut menderita dermatitis atopik, karena ditandai reaksi inflamasi pada kulit dan didasari oleh faktor herediter (Akib, 1996). Eczematous merupakan pola reaksi, bukan penyakit. Kulit menjadi kemerah-merahan dan timbul vesikel kecil, permukaannya bersisik, retak-retak, dan perdarahan yang menimbulkan rasa yang sangat tidak enak. Secara histologis ditandai oleh radang dan spongiosis (Underwood, 1999). Indurasi yaitu bagian kulit yang menjadi keras secara abnormal. Sedangkan krusta terbentuk melalui pengeringan eksudat tubuh. Kebanyakan penderita memberikan reaksi kulit yang didasari oleh IgE dan mempunyai kecenderungan untuk menderita asma, rinitis, atau keduanya di kemudian hari. Untuk mengurangi rasa gatal, dapat diberikan antihistamin (Akib, 2008).
            Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hitung leukosit 10.800/mL, eosinofil 6%. Hitung leukosit normal pada dewasa adalah 7000/mL, sedangkan pada bayi 10.800/mL termasuk batas normal. Eosinofil normal yaitu berkisar antara 1-4%, jadi dapat disimpulkan bahwa eosinofilnya meningkat sehingga terjadi reaksi alergi (Guyton, 2006)
            Riwayat atopi ditemukan pada keluarga yaitu bapak bayi tersebut menderita asma bronkiale dan sang ibu mempunyai rhinitis alergi. Atopi yaitu kecenderungan genetik untuk mendapat dan membentuk IgE terhadap paparan antigen. Anggota keluarga yang mudah menderita atopi cenderung mempunyai kadar IgE dalam darah yang lebih tinggi, tampaknya respon IgE ditentukan berdasarkan faktor keturunan. Adanya hubungan dengan tipe HLA tertentu merupakan bukti adanya penentuan genetik atopi (Underwood, 1999). Kriteria diagnosis dermatitis atopi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu kriteria mayor dan minor. Untuk dapat menyimpulkan apakah dermatitis atopi tersebut termasuk dalam mayor atau minor, maka diperlukan 3 atau lebih gejala yang ada pada kriteria. Yang termasuk dalam kriteria mayor antara lain:

1.      Pruritus atau gatal
2.      Morfologi pada dewasa adalah penebalan kulit dan pembentukan sisik (likenifikasi fleksura), sedangkan pada bayi dan anak lokasi kelainan di daerah muka dan ekstensor
3.      Dermatitis bersifat kronik residif
4.      Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
Sedangkan kriteria mayor cukup banyak, sehingga hanya beberapa yang bisa dicantumkan, antara lain:
1.      Reaktivasi pada uji kulit tipe cepat
2.      Peningkatan kadar IgE
3.      Kecenderungan mendapat infeksi kulit atau kelainan imunitas selular
4.      Konjungtivitis berulang
5.      Keratokonus atau penebalan
6.      Kepucatan atau eritema pada muka
Asma atopik dipicu oleh berbagai bahan di sekelilingnya. Konstriksi bronkus diperantarai reaksi hipersensitivitas tipe I. Pelepasan histamin berakibat terjadinya konstriksi bronkus, meningkatnya permeabilitas vaskuler dan hipersekresi mukus. Sedangkan rhinitis alergi merupakan gejala alergi pada hidung. Histamin merupakan mediator penting pada gejala alergi di hidung. Histamin bekerja langsung pada reseptor histamin selular, dan secara tidak langsung melalui refleks yang berperan pada bersin dan hipersekresi (Akib, 2008)
            Dokter menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan IgE. Bertujuan untuk menghitung kadar IgE total dalam darah. Pemeriksaan IgE spesifik alergen disebut radioallergosorbent test (RAST). Mekanisme pemeriksaannya, yaitu:
Alergen dilekatkan pada benda padat dari selulosa → Diinkubasi dengan serum pasien → Benda padat dicuci → Diinkubasi dengan antibodi terhadap IgE yang berlabel → Dicuci lagi → Hitung label yang terikat → Jika tinggi, maka terjadi alergi (Sacher, 2004).
            Dapat disimpulkan pada kasus ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, dikarenakan yang berperan adalah IgE. Setiap orang bisa saja terkena alergi, karena alergi itu dapat terjadi karena faktor keturunan dan faktor lingkungan. Alergi tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikurangi.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.   Kesimpulan
Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi imunologi yang berat dan merugikan. Menurut mekanismenya dibagi menjadi 4 tipe. Tipe I, ikatan antigen dengan IgE pada permukaan sel mast yang menyebabkan pelepasan histamin. Tipe II, antigen pada permukaan sel mengikat antibodi, mendorong terjadinya lisis, baik oleh sel pertahanan maupun hasilnya. Tipe III, kombinasi antigen dan antibodi membentuk kompleks imun yang mengaktifkan komplemen. Tipe IV, limfosit-T memproduksi respon lambat terhadap antigen.

B.   Saran
Untuk menghindari penyakit alergi maupun menangani anak yang telah terkena alergi, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut:
1.      Jagalah kebersihan diri sendiri serta lingkungan sekitar
2.      Hindari faktor penyebab terjadinya alergi, misalnya makanan, debu, dll
3.      Berikan ASI pada bayi untuk menghindari gejala alergi
4.      Untuk anak yang mengalami dermatitis atopi sebaiknya menghindari mainan yang dapat mengakibatkan iritasi kulit
  

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar Edisi Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Rani, Aziz. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sacher, Ronald A. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, Arthur C. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Underwood, J. C. E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Akib, Arwin AP. 2008. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI

Leave a Reply