BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Leukemia merupakan kanker yang paling sering dijumpai pada masa kanak-kanak. Menyerang kurang lebih 2500 anak setiap tahun di Amerika Serikat. Dengan metode diagnostik yang lebih akurat, pemberian terapi yang lebih efektif pada uji klinis terkontrol, serta perawatan suportif yang lebih baik, hasil pengobatan leukemia pada anak telah memperlihatkan kemajuan yang pesat. Sekarang, lebih dari dua per tiga pasien yang diobati untuk leukemia limfoblastik/limfositik akut akan berada dalam kondisi remisi komplit selama 5 tahun atau lebih setelah diagnosis, dan kebanyakan kasus akan sembuh (Rudolph, 2004).


Leukemia limfoblastik akut merupakan bentuk leukemia yang paling banyak pada anak-anak. Insidensi LLA adalah 1/60.000 orang per tahun, dengan 75% pasien berusia kurang dari 15 tahun. Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih banyak ditemukan pada pria daripada wanita (Sudoyo, 2007).
B.     Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang didapatkan antara lain:
1.      Apa definisi dari leukemia?
2.      Bagaimana klasifikasi dari anemia?
3.      Apa definisi dari penyakit leukemia limfoblastik akut?
4.      Apa etiologi dari penyakit LLA?
5.      Bagaimana patogenesis dari penyakit LLA?
6.      Apa saja manifestasi klinis dari penyakit LLA?
7.      Apa saja diagnosis untuk penyakit LLA?
8.      Bagaimana terapi yang dapat dilakukan untuk penyakit LLA?


C.     Tujuan

Adapun tujuan yang didapatkan antara lain:
1.      Agar dapat menjelaskan definisi dari leukemia
2.      Agar dapat menjelaskan klasifikasi dari anemia
3.      Agar dapat menjelaskan definisi dari penyakit leukemia limfoblastik akut
4.      Agar dapat menjelaskan etiologi dari penyakit LLA
5.      Agar dapat menjelaskan patogenesis dari penyakit LLA
6.      Agar dapat menjelaskan manifestasi klinis dari penyakit LLA
7.      Agar dapat menjelaskan diagnosis untuk penyakit LLA
8.      Agar dapat menjelaskan terapi yang dapat dilakukan untuk penyakit LLA

D.    Manfaat

Adapun manfaat yang didapatkan antara lain:
1.      Memahami definisi dari leukemia
2.      Memahami klasifikasi dari anemia
3.      Memahami definisi dari penyakit leukemia limfoblastik akut
4.      Memahami etiologi dari penyakit LLA
5.      Memahami patogenesis dari penyakit LLA
6.      Memahami manifestasi klinis dari penyakit LLA
7.      Memahami diagnosis untuk penyakit LLA
8.      Memahami terapi yang dapat dilakukan untuk penyakit LLA
  
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Definisi
Leukemia atau kanker darah dalah sekelompok penyakit neoplastik yang beragam, ditandai oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid. Sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan oleh sel tak normal atau abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi. Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau proses pembentukan sel darah normal dan imunitas tubuh penderita. Kata leukemia berarti darah putih, karena pada penderita ditemukan banyak sel darah putih sebelum diberi terapi. Sel darah putih yang tampak banyak merupakan sel yang muda, misalnya promielosit. Jumlah yang semakin meninggi ini dapat mengganggu fungsi normal dari sel lainnya. Sedangkan leukemia limfoblastik akut adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid (Underwood, 2000).
B.     Klasifikasi
Kemajuan dalam klasifikasi leukemia pada anak penting untuk memahami patofisiologi penyakit ini dan perkembangan metode terapi yang lebih spesifik. Dalam istilah yang paling luas, leukemia pada anak dapat diklasifikasikan sebagai akut, kronik, atau kongenital. Akut dan kronis sebenarnya menunjukkan durasi relatif ketahanan hidup, tetapi dengan penemuan kemoterapi yang efektif, sekarang leukemia akut menunjukkan proliferasi maligna sel immatur (yaitu blastik). Jika proliferasi itu sebagian besar melibatkan jenis sel yang lebih matur (yaitu berdiferensiasi), leukemia itu diklasifikasikan sebagai kronis. Tidak seperti leukemia pada orang dewasa, pada anak biasanya adalah jenis akut dan limfoblastik. Leukemia limfositik atau limfoblastik akut (ALL) meliputi kira-kira 80% leukemia akut pada anak, dan sisanya sebagian besar adalah leukemia mieloid akut (non-limfoblastik) (AML). Leukemia kongenital atau neonatal adalah leukemia yang terdiagnosis dalam 4 minggu pertama kehidupan bayi (Rudolph, 2006).
Adapun perbedaan antara leukemia akut dan leukemia kronis adalah:

Leukemia akut
Leukemia kronis
Umur
Onset penyakit
Perjalanan penyakit
Sel leukemia
Anemia, trombositopenia
Jumlah leukosit
Pembesaran kelenjar
Pembesaran limpa
Semua umur
Tiba-tiba
<6 bulan
Sel tidak matang
Menonjol
Bervariasi
Ringan
Ringan
Dewasa
Perlahan
26 tahun
Sel matang
Ringan
Meningkat
Jelas
Jelas
(Staf IKA, 2007)
C.     Epidemiologi
Pada ALL, puncak usia timbulnya penyakit adalah antara umur 3 dan 4 tahun, sedangkan pada anak dengan AML tampak tidak ada usia puncak. Insiden ALL lebih tinggi pada anak kulit putih daripada anak kulit berwarna, tetapi prediksi rasial belum diperlihatkan baik untuk AML maupun CML. Temuan baru-baru ini mengenai kelainan genetik sel yang leukemia identik pada pasangan kembar monozigot menunjukkan bahwa metastasis intrauterin menyebabkan leukemia yang sama. Suatu resiko yang lebih tinggi dari normal untuk perkembangan leukemia telah dihubungkan dengan berbagai macam kelainan (Rudolph, 2006).
D.    Etiologi
Penyebab LLA pada dewasa sebagian besar tidak diketahui. Faktor keturunan dan sindroma predisposisi genetik lebih berhubungan dengan LLA yang terjadi pada anak-anak. Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis yang berhubungan dengan LLA adalah: (Sudoyo, 2007)
1.      Radiasi ionik, orang yang selamat dari ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki mempunyai resiko relatif keseluruhan 9,1 untuk berkembang menjadi LLA.
2.      Paparan benzene dengan kadar tinggi dapat menyebabkan aplasi sumsum tulang, kerusakan kromosom, dan leukemia.
3.      Merokok sedikit meningkatkan resiko LLA pada usia di atas 60 tahun
4.      Obat kemoterapi
5.      Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3
6.      Pasien dengan sindroma Down dan Wiskott-Aldrich mempunyai resiko yang menningkat untuk menjadi LLA
Dewasa ini, mutasi spontan telah menjadi hipotesis sebagai penyebab utama ALL pada anak. Karena sel target untuk ALL, sel progenitor limfoid, memiliki kecepatan proliferasi yang tinggi dan kecenderungan yang tinggi untuk pengaturan kembali gen selama masa kanak-kanak awal, mereka lebih rentan untuk mengalami mutasi. Diperdebatkan bahwa satu, atau lebih mungkin dua, mutasi sel, yang mengalami tekanan proliferasi dapat terjadi pada frekuensi yang cukup untuk bertanggung jawab terhadap kebanyakan kasus ALL pada anak-anak (Rudolph, 2006)
E.     Patogenesis
Teori umum tentang patofisiologi leukemia adalah bahwa satu sel induk mutan, ammpu memperbaharui diri secara tidak terhingga, menimbulkan, prekursor hemopoetik berdiferensiasi buruk maligna yang membelah diri pada kecepatan yang sama atau lebih lambat daripada pasangannya yang normal. pada studi glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD), perkembangan uniseluler dari neoplasma telah diperlihatkan dengan menemukan satu jenis G6PD dalam sel ganas dari pasien heterozigot yang memiliki pola enzim ganda dalam jaringan normal mereka. Penentuan pola metilasi dari polimorfisme panjang-fragmen-restriksi yang terkait-X pada perempuan heterozigot merupakan metode sensitif lain dalam pada prinsip analisis yang sama. Akumulasi sel blas menghambat produksi normal granulosit, eritrosit, dan trombosit, sehingga mengakibatkan infeksi, anemia, dan perdarahan. Sel leukemia dapat menginfiltrasi setiap organ dan menyebabkan pembesaran dan gangguan fungsi organ tersebut (Rudolph, 2004).
F.      Manifestasi Klinis
Presentasi klinis LLA sangat bervariasi. Pada umumnya gejala klinis menggambarkan kegagalan sumsum tulang atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsum tulang menyebabkan kurangnya sel-sel normal di darah perifer dan gejala klinis dapat berhubungan dengan anemia, infeksi, dan perdarahan. Demam atau infeksi yang jelas dapat ditemukan pada separuh pasien LLA, sedangkan gejala perdarahan yang berat jarang terjadi (Mansjoer, 2000).
Gejala dan tanda klinis yang dapat ditemukan, antara lain: (Sudoyo, 2007)
1.      Anemia (mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada)
2.      Anoreksia
3.      Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel leukemia)
4.      Demam, banyak berkeringat (gejala hipermetabolisme)
5.      Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis, atau sepsis. Penyebab yang paling sering adalah stafilokokus, streptokokus, dan bakteri gram negatif usus, serta berbagai spesies jamur
6.      Perdarahan kulit, perdarahan gusi, hematuria, perdarahan saluran cerna, perdarahan otak
7.      Hepatomegali
8.      Splenomegali
9.      Limfadenopati
10.  Massa di mediastinum (sering pada LLA sel T)
11.  Leukemia sistem saraf pusat (nyeri kepala, muntah, perubahan dalam status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI dan VII, kelainan neurologik fokal)
12.  Keterlibatan organ lain (testis, retina, kulit, pleura, perikardium, tonsil)
G.    Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk konfirmasi diagnostik LLA, klasifikasi prognostik dan perencanaan terapi yang tepat, yaitu: (Sudoyo, 2007)
1.      Hitung darah lengkap dan apus darah tepi
Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis. Hiperleukositosis (>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat melebihi 200.000/mm3. Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia. Proporsi sel blas pada hitung leukosit bervariasi dari 0-100%. Kira-kira sepertiga pasien mempunyai hitung trombosit kurang dari 25.000/mm3.
2.      Aspirasi dan biopsi sumsum tulang
Spesimen yang didapat harus diperiksa untuk analisis histologi, sitogenetik dan immunophenotyping. Apus sumsum tulang tampak hiperseluler dengan limfoblas yang sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dari jarinngan biopsi penting untuk evaluasi gambaran sitologi.
3.      Sitokimia
Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas LMA. Sitokimia juga berguna untuk membedakan precursor B dan B-ALL dari T-ALL. Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas, sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan periodic acid Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh limfoblas dapat dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase atau flow cytometry.
4.      Imunofenotip (dengan sitometri arus/flow cytometry)
Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi LLA. Pada sekitar 15-54% LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen mieloid. Antigen mieloid yang biasa dideteksi adalah CD13, CD15, dan CD33. Ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid dapat ditemukan pada leukemia bifenotip akut. Kasus ini jarang, dan perjalanan penyakitnya buruk.
5.      Sitogenetik
Analisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik berhubungan dengan subtipe LLA tertentu, dan dapat memberikan informasi prognostik.
6.      Biologi molekular
Teknik molekular dikerjakan bila analisis sitogenetik rutin gagal, dan untuk mendeteksi yang tidak terdeteksi dengan sitogenetik standar. Teknik ini juga harus dilakukan untuk mendeteksi gen BCR-ABL yang mempunyai prognosis buruk.
7.      Pemeriksaan lainnya
Parameter koagulasi biasanya normal dan koagulasi intravaskular diseminata jarang terjadi. Kelainan metabolik seperti hiperurikemia dapat terjadi terutama pada pasien dengan sel-sel leukemia yang cepat membelah dan tumor burden yang tinggi. Pungsi lumbal dilakukan pada saat diagnosis untuk memeriksa cairan serebrospinal. Perlu atau tidaknya tindakan ini dilakukan pada pasien dengan banyaknya sel blas yang bersirkulasi masih kontroversi. Definisi keterlibatan susunan saraf pusat (SPP) adalah bila ditemukan lebih dari 5 leukosit/mL cairan serebrospinal dengan morfologi sel blas pada spesimen sel yang disentrifugasi.

  
H.    Diagnosis Banding
Adapun diagnosis banding untuk penyakit LLA antara lain: (Sudoyo, 2007)
1.      Limfositosis, limfadenopati, dan hepatosplenomegali yang berhubungan dengan infeksi virus dan limfoma
2.      Anemia aplastik
I.        Terapi
Strategi dasar untuk pengobatan ALL terdiri atas: (Rudolph, 2004)
1.      Kemoterapi intensif jangka pendek untuk menimbulkan remisi komplet
2.      Fase konsolidasi, biasanya diberikan lebih dari 2-4 minggu
3.      Pengobatan sistem saraf pusat presimtomatis
4.      Kesinambungan terapi selama 2 atau 3 tahun untuk meneruskan penghancuran sel leukemia
Sel leukemia dari anak dengan ALL biasanya cukup sensitif terhadap kemoterapi pada saat diagnosis. Pengobatan induksi secara tipikal meliputi glukokortikoid (deksametason atau prednison), alkaloid tumbuhan (vinkristin), dan enzim asparaginasse, semuanya diberikan selama 4 minggu. Obat-obat ini segera menghancurkan sel leukemia, dengan toksisitas organ yang minimal dan gangguan hematopoesis normal yang minnimal. Untuk leukemia resiko tinggi, sebagian besar penelitian klinis menggunakan agen tambahan untuk induksi remisi. Dengan kemoterapi modern dan perawatan suportif, 97-98% anak dapat mencapai remisi sempurna. Setelah tercapai remisi sempurna tujuan terapi selanjutnya adalah meneruskan perusakan sisa-sisa limfoblas sampai kadar yang sesuai dengan keadaan sembuh. Pengurangan populasi sel leukemik yang cepat ssebelum munculnya klon yang resisten, telah dicapai dengan fase “konsolidasi” atau “intensif”.
Metode standar terapi selama remisi adalah penggunaan terapi preventif sistem saraf pusat-terapi langsung. Karena lamanya remisi komplet secara progresif menjadi lebih panjang, frekuensi keterlibatan sistem saraf pusat meningkat, biasanya selama remisi sumsum tulang. Alasan yang jelas untuk komplikasi ini adalah kegagalan obat antileukemik untuk melewati selaput otak dan cairan serebrospinal dalam konsentrasi efektif. Didasarkan pada teori bahwa sel leukemik berada pada selaput otak pada saat diagnosis, maka tujuan terapi preventif sistem saraf pusat adalah untuk menghilangkan sel-sel ini pada saat jumlahnya masih sedikit dan tidak terdeteksi melalui pemeriksaan klinis.
Dahulu, pengobatan lanjutan yang biasa diberikan adalah merkaptopurin oral harian dan metotreksat mingguan. Dewasa ini, regimen intensif telah digunakan dalam upaya untuk meningkatkan kemungkinan sembuh, terutama pada pasien yang memiliki resiko relaps yang tinggi. Pada beberapa anak, metotreksat telah digunakan dalam dosis yang lebih tinggi daripada dosis konvensional tidak hanya pada awal remisi tetapi meliputi seluruh pengobatan untuk mempertahankan remisi. Beberapa regimen meliputi penggunaan periodik dari obat yang sama yang digunakan untuk induksi remisi, sedangkan yang lain menggunakan pemberian obat yang periodik dari jenis obat yang berbeda seperti siklofosfamid, sitarabin, dan epipodofilotoksin, terutama untuk penyakit sel-T atau sel pra-B, diberikan secara berkala (Rudolph, 2004).
J.        Komplikasi
Komplikasi metabolik pada anak dengan ALL dapat disebabkan oleh lisis sel leukemik akibat kemoterapi atau secara spontan dan komplikasi ini dapat mengancam jiwa pasien yang memiliki beban sel leukemia yang besar. Terlepasnya komponen intraseluler dapat menyebabkan hiperurisemia, hiperkalsemia, dan hiperfosfatemia dengan hipokalsemia sekunder. Beberapa pasien dapat menderita nefropati asam urat. Jarang sekali timbul urolitiasis dengan obstruksi ureter setelah pasien diobati untuk leukemia. Infiltrasi leukemik yang difus pada ginjal juga dapat menimbulkan gagal ginjal (Rudolph, 2006).

K.    Prognosis
Kebanyakan pasien LLA dewasa dapat mencapai remisi tapi tidak sembuh dengan kemoterapi saja, dan hanya 30% yang bertahan hidup lama. Kebanyakan pasien yang sembuh dengan kemoterapi adalah usia 15-20 tahun dengan faktor prognostik baik lainnya. Harapan sembuh untuk pasien LLA dewasa lainnya tergantung dari terapi yang lebih intensif dengan transplantasi sumsum tulang (Sudoyo, 2007).

BAB III
PEMBAHASAN

Pada skenario yang berjudul “Mengapa Perut Anak Saya Membesar, Dok?” didapatkan beberapa masalah, diantaranya:
Nama              : X
Umur              : 4 tahun
Keluhan          : Perut membesar sejak 2 bulan yang lalu, panas kadang-kadang, btuk pilek (-), anak sering sakit-sakitan, badan semakin kurus
Pem. Fisik       : Conjunctiva pucat, hepatosplenomegali, hepar membesar 3 cm di bawah arcus costae 1 cm di bawah processus xyphoideus, spleen membesar 2 schuffner
Pem. Lab        : Hb 6 mg/dL, AL 80.000/µL, AT 60.000/µL, gambaran darah tepi ditemukan sel-sel muda dari seri limfosit, pemeriksaan urin dalam batas normal
Riwayat          : Nenek meninggal akibat ca mammae
Diagnosis        : Leukemia limfositik akut (LLA), dokter menganjurkan agar anak melakukan pemeriksaan BMA (Bone Marrow Aspiration) dan pengecatan sitokimia untuk menegakkan diagnosis
Penyebab penyakit pada anak dimungkinkan karena pewarisan gen kanker dari nenek yang dahulunya juga pernah mengidap kanker mamae. Oleh karena itu, anak kemungkinan besar mendapat bakat kanker dari nenek. Pada skenario, anak datang dengan keluhan perut membesar dikarenakan terjadi organomegali di bagian abdomen, selain itu perut juga dirasakan semakin membesar. Tidak ada demam, batuk, dan pilek menandakan tidak adanya gejala infeksi. Anak semakin kurus karena pengaruh dari perut nya yang semakin membesar dan terasa tidak nyaman, sehingga anak tidak bernafsu makan. Lama kelamaan anak menjadi lemah dan kurus karena kurangnya asupan makanan (Staf IKA, 2007).
Pada pemeriksaan fisik, pada conjunctiva tampak pucat, yang mana gejala tersebut merupakan manifestasi dari anemia. Anemia disebabkan karena sel leukemia merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk sel darah merah. Hal ini mengakibatkan berkurangnya jumlah sel darah merah, yang dapat dilihat dari warna conjunctiva yang memucat (Mansjoer, 2000).
Pemeriksaan abdomen dapat mengungkapkan adanya hati atau limpa atau hati dan limpa yang membesar, yang menduga adanya penyakit hati primer, penyakit metastatik hati disertai anemia sekunder, atau apa yang dinamakan hipersplenisme yang berkaitan dengan peningkatan penghancuran eritrosit. Dalam kondisi normal, hepar tidak akan teraba. Tetapi dalam kasus ini, hepar teraba disebabkan karena terjadi pembesaran. Adapun urutan pelaksanaan palpasi pada hepar yaitu: (Delp, 1996)
1.      Berdiri di sisi kanan penderita
2.      Letakkan tangan kiri di bawah pinggang kiri penderita
3.      Angkat dengan hati-hati ke atas untuk meninggikan massa hati ke lokasi yang lebih mudah dicapai
4.      Lakukan palpasi dengan meletakkan tangan kanan pada kuadran kanan bawah, dengan ujung jari mendatar dan mengarah ke pinggir iga kanan
5.      Saat penderita menarik dan mengeluarkan napas, gerakkan tangan ke atas, sambil menekan ke bawah
6.      Ulangi dengan hati-hati, sambil tangan bergerak ke pinggir iga pada setiap inspirasi
7.      Penurunan diafragma selama inspirasi dalam akan menyebabkan hepar ikut terdorong ke bawah dan batas bawah hati yang membesar dapat dirasa.
Pada palpasi limpa normal, seharusnya tidak teraba. Tetapi dalam skenario limpa dapat teraba pada Schuffner 2. Schuffner merupakan satuan dalam pengukuran limpa, dengan cara menarik garis diagonal ke umbilikus. Splenomegali atau pembesaran limpa disebabkan oleh kongesti atau akumulasi cairan yang yang berlebihan dan dapat dikatakan abnormal. Palpasi untuk limpa hampir sama dengan hepar. Urutannya yaitu: (Delp, 1996)

1.      Suruh penderita berbaring terlentang
2.      Berdiri pada sisi kanan penderita, letakkan tangan kanan secara datar pada dinding perut tepat pada pinggir bawah iga, pada garis midklavikularis
3.      Letakkan tangan kiri di bawah pinggang kiri dan angkat dengan hati-hati ke atas
4.      Suruh penderita melakukan inspirasi dalam, yang menyebabkan limpa turun terdesak oleh diafragma
5.      Limpa mudah diraba bila berbaring miring ke kanan dengan kedua tungkai bawah difleksikan
6.      Jika limpa membesar, akan menyentuh ujung jari tangan kanan, selain itu limpa terasa keras dan padat
Hasil laboratorium didapatkan penurunan jumlah hemoglobin, yang mana batas normalnya adalah 13,5-18 g/dL sedangkan pada anak hanya mencapai 6 g/dL. Berbeda dengan leukosit, didapatkan kenaikan yang begitu besar yaitu 80.000/µL. Nilai normalnya hanya berkisar 4.500-11.000/µL. Sedangkan untuk trombosit mengalami penurunan yaitu 60.000/µL, adapun nilai normalnya yaitu 150.000-450.000/µL (Sacher, 2004).
Pada gambaran darah tepi didapatkan sel-sel muda dari seri limfosit, biasanya sel-sel normal secara total diganti oleh limfoblas leukosit. Selain itu, untuk pemeriksaan urin didapatkan hasil normal. dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan BMA (Bone Marrow Aspiration) atau aspirasi sumsum tulang. Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan dan klasifikasi, sehingga semua pasien LLA harus menjalani prosedur ini. Apus sumsum tulang tampak hiperseluler dengan limfoblas yang sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Selain itu pengecatan sitokimia juga dianjurkan oleh dokter. Gambaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang kadang-kadang tidak dapat membedakan LLA dari leukemia mieloblastik akut (LMA) (Sudoyo, 2007).


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Leukemia merupakan proliferatif dari prekursor sel darah putih. Proliferasi ini memberikan berbagai keadaan yaitu penggantian difus sumsum tulang normal oleh sel leukemia dengan akumulasi sel abnormal pada darah tepi dan infiltrasi organ. Leukemia dibagi 2 yaitu akut dan kronis. Untuk leukemia akut terdiri dari leukemia limfoblastika akut dan leukemia mieloblastik akut. Sedangkan  untuk leukemia kronis terdiri dari leukemia granulositik (mieloid) kronis dan leukemia limfositik kronis.Pada sebagian besar kasus penyebabnya tidak diketahui. Beberapa faktor tertentu diketahui menginisiasi perubahan leukemik yaitu radiasi, obat-obatan, bahan kimia, virus, dan faktor genetik.
B.Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dalam skenario ini antara lain:
1.      Berikan makanan yang bergizi seimbang atau 4 sehat 5 sempurna pada anak-anak
2.      Berikan cukup vitamin dan mineral untuk anak yang mengalami anemia
3.      Lakukan olahraga yang teratur serta menjaga daya tahan tubuh

Leave a Reply