BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan bertambahnya usia, mereka mulai kehilangan tulang dan tulangnya menjadi rapuh. Wanita kehilangan tulang lebih cepat dari pria, khususnya dalam 5 sampai 10 tahun setelah menopause. Penipisan tulang disebut osteoporosis. Osteoporosis menjadi masalah kesehatan yang besar. Tulang bersifat dinamis, tidak statis sehingga terus menerus dibangun, diperbaiki, dan dihancurkan oleh sel-sel khusus tulang. Sejak usia kira-kira 25 tahun, tidak ada tulang baru yang ditambahkan pada wanita, dan sejak kira-kira usia 45 tahun, tulang mulai hilang. Mulanya kehilangan tulang perlahan-lahan, sekitar 5% dari seluruh massa tulang yang hilang setiap tahunnya.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang didapatkan antara lain:
1. Apa definisi dari osteoporosis?
2. Apa saja faktor resiko yang menyebabkan osteoporosis?
3. Bagaimana patofisiologi terjadinya osteoporosis?
4. Bagaimana gejala dan tanda osteoporosis?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk osteoporosis?
6. Bagaimana pencegahan terjadinya osteoporosis?
C. Tujuan
Adapun tujuan yang didapatkan antara lain:
1. Agar dapat mengetahui definisi dari osteoporosis
2. Agar dapat mengetahui faktor resiko yang menyebabkan osteoporosis
3. Agar dapat mengetahui patofisiologi terjadinya osteoporosis
4. Agar dapat mengetahui gejala dan tanda osteoporosis
5. Agar dapat mengetahui pemeriksaan penunjang untuk osteoporosis
6. Agar dapat mengetahui pencegahan terjadinya osteoporosis
D. Manfaat
Adapun manfaat yang didapatkan antara lain:
1. Mengetahui definisi dari osteoporosis
2. Mengetahui faktor resiko yang menyebabkan osteoporosis
3. Mengetahui patofisiologi terjadinya osteoporosis
4. Mengetahui gejala dan tanda osteoporosis
5. Mengetahui pemeriksaan penunjang untuk osteoporosis
6. Mengetahui pencegahan terjadinya osteoporosis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Osteoporosis merupakan kelainan metabolik tulang dimana terdapat penurunan massa tulang tanpa disertai kelainan pada matriks tulang. (Rasjad, 2007)
B. Etiologi
Osteoporosis merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial. Osteoporosis merupakan hasil interaksi kompleks yang menahun antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor-faktor resiko terjadinya osteoporosis adalah: (Rasjad, 2007)
1. Umur, lebih sering terjadi pada usia lanjut.
2. Ras, kulit putih mempunyai resiko paling tinggi.
3. Faktor keturunan, ditemukan riwayat keluarga dengan keropos tulang.
4. Adanya kerangka tubuh yang lemah dan skoliosis vertebra. Keadaan ini terutama terjadi pada wanita antara umur 50-60 tahun dengan densitas tulang yang rendah dan di atas umur 70 tahun dengan BMI yang rendah.
5. Aktivitas fisik yang kurang
6. Tidak pernah melahirkan
7. Menopause dini (menopause yang terjadi pada umur 46 tahun)
8. Gizi (antara lain protein), kandungan garam pada makanan. Kekurangan protein dan kalsium dalam masa kanak-kanak dan remaja menyebabkan tidak tercapainya massa tulang yang maksimal pada waktu dewasa.
9. Gaya hidup seperti peminum alkohol berat, peminum kopi berat, dan perokok berat.
10. Hormonal yaitu kadar esterogen plasma yang kurang.
11. Obat misalnya kortikosteroid
12. Kerusakan tulang akibat kelelahan fisik (fatigue damage) misalnya jogging yang berlebihan tanpa diimbangi gizi yang cukup.
13. Jenis kelamin, perbedaan ini mungkin disebabkan oleh faktor hormonal dan rangka tulang yang lebih kecil
C. Prognosis
Patah tulang panggul dapat menyebabkan hilangnya kemerdekaan. Vertebra patah (juga disebut "kompresi fraktur" pada tulang belakang) menyebabkan rasa tidak nyaman dan dapat mengganggu pernafasan. Pengukuran massa tulang untuk menilai prognosis juga tergantung pada ketepatan atau keakuratan hasil pengukuran. Yang dimaksud dengan ketepatan untuk menilai prognosis adalah kemampuan dari hasil pengukuran tersebut untuk memprediksi terjadinya fraktur dikemudian hari. Oleh karena itu perhatian pada pengukuran densitas tulang pada saat ini tidak hanya ditujukan untuk menegakkan diagnosis osteoporosis saja akan tetapi mulai banyak ditujukan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya fraktur dikemudian hari dalam menentukan prognosisnya. Pada umumnya dalam menentukan prognosis, teknik absorptiometrik mempunyai spesifisitas yang tinggi akan tetapi sensitivitasnya rendah, dimana untuk menentukan kelompok risiko tinggi (high risk) nilai batas ambang atau cutoff point-nya sangat bervariasi (Arif, 2000).
Ketepatan dalam menentukan prognosis akan meningkat apabila mempertimbangkan pula faktor-faktor risiko lainnya termasuk : marker biokimia untuk resorpsi atau formasi, riwayat fraktur osteoporosis sebelumnya dan faktor risiko lain diluar densitas tulang antara lain stabilitas postural. Ketepatan juga akan bertambah baik apabila pengukurannya dilakukan pada tempat-tempat khusus, misalnya untuk meramalkan kemungkinan terjadinya fraktur Colles yang diukur sebaiknya daerah pergelangan tangan dan untuk meramalkan kemungkinan terjadinya fraktur pada panggul (hip) pengukuran dilakukan pada panggul (Sudoyo, 2007).
D. Patofisiologi
Osteoporosis dibagi 2 kelompok, yaitu osteoporosis primer (involusional) dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya, sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya. Pada tahun 1940-an, Albright mengemukakan pentingnya estrogen pada patogenesis osteoporosis. Kemudian pada tahun 1983, Riggs dan Melton, membagi osteoporosis primer atas osteoporosis tipe I dan tipe II. Osteoporosis tipe I disebut juga osteoporosis pasca menopause, disebabkan oleh defisiensi estrogen akibat menopause. Osteoporosis II, disebut juga osteoporosis senilis, disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium di usus sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya osteoporosis (Sudoyo, 2007).
Patogenesis Osteoporosis Tipe I
Setelah menopause, maka esorpsi tulang akan meningkat, terutama pada dekade awal setelah menopause, sehingga insiden fraktur, terutama fraktur vertebra dan radius distal meningkat. Penurunan densitas tulang terutama pada tulang trabekular, karena memiliki permukaan yang luas dan hal ini dapat dicegah dengan terapi sulih estrogen. Petanda resorpsi tulang dan formasi tulang, keduanya meningkat menunjukkan adanya peningkatan bone turnover. Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal cellsl dan sel-sel mononuclear, seperti IL-1, IL-6 dan TNF-α yang berperan meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas osteoklas meningkat.
Selain peningkatan aktivitas osteoklas, menopause juga menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal. Selain itu, menopause juga menurunkan sintesis berbagai proein yang membawa 1,25 (OH)2D, sehingga pemberian estrogen akan meningkatkan konsentrasi 1,25 (OH)2D di dalam plasma. Tetapi pemberian estrogen transdermal tidak akan meningkatkan sintesis protein tersebut, karena estrogen transdermal tetap dapat meningkatkan absorpsi kalsium di usus secara langsung tanpa dipengaruhi vitamin D. untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause, maka kadar PTH akan meningkat pada wanita menopause, sehingga osteoporosis akan semakin berat. Pada menopause, kadangkala didapatkan peningkatan kadar kalsium serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya volume plasma, meningkatnya kadar albumin dan bikarbonat, sehingga meningkatkan kadar kalsium yang terikat albumin dan juga kadar kalsium dalam bentuk garam kompleks. Peningkatan bikarbonat pada menopause terjadi akibat penurunan rangsang respirasi, sehingga terjadi relatif asidosis respiratosik. Walaupun terjadi peningkatan kadar kalsium yang terikat albumin dan kalsium dalam garam kompleks, kadar ion kalsium tetap sama dengan keadaan premenopausal. (Sudoyo, 2007)
Patogenesis osteoporosis tipe II
Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang spinalnya sebesar 42% dan kehilangan tulang femurnya sebesar 58%. Pada dekade ke-8 dan ke-9 kehidupannya, terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan resiko fraktur. Peningkatan resorpsi tulang merupakan resiko fraktur yang independen terhadap BMD. Peningkatan osteokalsin seringkali didapatkan pada orang tua, tetapi hal ini lebih menunjukkan peningkatan turnover tulang dan bukan peningkatan formasi tulang. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebab penurunan fungsi osteoblas pada orang tua, diduga karena penurunan kadar esterogen dan IGF-1.
Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua. Hal ini disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorpsi, dan paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium, akan timbul hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan semakin meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang, terutama pada orang-orang yang tinggal di daerah 4 musim.
Aspek nutrisi yang lain adalah defisiensi protein yang akan menyebabkan penurunan sintesis IGF-1. Defisiensi vitamin K juga akan menyebabkan osteoporosis karena akan meningkatkan karboksilasi protein tulang, misalnya osteokalsin.
Defisiensi esterogen, ternyata juga merupakan masalah yang penting sebagai salah satu penyebab osteoporosis pada orang tua. Demikian juga kadar testosteron pada laki-laki. Defisiensi estrogen pada laki-laki juga berperan pada kehilangan massa tulang. Penurunan kadar estradiol di bawah 40 pMol/L pada laki-laki akan menyebabkan osteoporosis. Karena laki-laki tidak pernah mengalami menopause, maka kehilangan massa tulang yang besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi. Estrogen pada laki-laki berfungsi mengatu resorpsi tulang, sedangkan estrogen dan progesteron mengatur formasi tulang. Kehilangan massa tulang trabekula pada laki-laki berlangsung linier, sehingga terjadi penipisan trabekula, tanpa disertai putusnya trabekula seperti pada wanita. Penipisan trabekula pada laki-laki terjadi karena penurunan formasi tulang, sedangkan putusnya trabekula pada wanita disebabkan karena peningkatan resopsi yang berlebihan akibat penurunan kadar estrogen yang drastis pada waktu menopause.
Dengan bertambahnya usia, kadar testosteron pada laki-laki akan menurun sedangkan kadar sex hormone binding globulin (SHBG) akan meningkat. Peninngkatan SHBG akan meningkatkan pengikatan esterogen dan testosteron membentuk kompleks yang inaktif. Laki-laki yang menderita kanker prostat dan diterapi dengan antagonis androgen atau agonis gonadotropin juga akan mengalami kehilangan massa tulang dan peningkatan resiko fraktur.
Penurunan hormon pertumbuhan (GH) dan IGF-1, juga berperan terhadap peningkatan resorpsi tulang. Tetapi penurunan kadar androgen adrenal (DHEA dan DHA-S) ternyata menunjukkan hasil yang kontroversial terhadap penurunan massa tulang pada orang tua.
Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan massa tulang pada orang tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan dan imobilisasi lama). Dengan bertambahnya umur, remodeling endikortikal dan intrakortikal akan meningkat, sehingga kehilangan tulang terutama terjadi pada tulang kortikal dan meningkatkan risiko faktor tuulang kortikal, misalnya pada femur proksimal.
E. Gambaran Klinik
Gejala pada usia lanjut bervariasi, beberapa tidak menunjukkan gejala, yang lain seringkali menunjukkan gejala klasik, berupa: (Stockslager, 2008)
1. Nyeri pada bagian punggung yang terjadi secara perlahan-lahan selama beberapa tahun atau yang terjadi secara tiba-tiba (misalnya setelah membungkuk)
2. Pada kolaps vertebra, nyeri punggung dan nyeri yang menyebar di sekitar batang tubuh yang diperburuk oleh setiap gerakan
3. Dapat terjadi fraktur traumatik pada vertebra dan menyebabkan kifosis anguler yang dapat menyebabkan medula spinalis tertekan sehingga dapat terjadi paraparesis
4. Punuk Dowager (tanda klinis osteoporosis), disebabkan oleh peningkatan kelengkungan tulang belakang akibat fraktur vertebra yang berulang
5. Bertambah pendek
6. Spasme otot, khususnya pada bagian lumbal
7. Penurunan gerakan tulang belakang (fleksi lebih terbatas daripada ekstensi)
F. Prinsip dan Langkah Penegakan Diagnosis
Secara klinis sulit dinilai karena tidak ada rasa nyeri pada tulang saat osteoporosis terjadi walau osteoporosis osteoporosis lanjut. Rasa nyeri pada tulang timbul saat terjadinya fraktur atau mikro fraktur. Khususnya pada wanita-wanita menopause dan pasca menopause, rasa nyeri di daerah tulang dan sendi dihubungkan dengan adanya nyeri akibat defisiensi estrogen (Rasjad, 2006).
1. Anamnesa
Secara anamnesa mendiagnosis osteoporosus hanya dari tanda sekunder yang menunjang terjadi osteoporosis seperti:
a. Tinggi badan yang makin menurun
b. Obat-obat
c. Penyakit-penyakit yang diderita selama masa reproduksi, klimakterium
d. Jumlah kehamilan dan menyusui
e. Bagaimana keadaan haid selama masa reproduksi
f. Apakah sering beraktivitas di luar rumah sehingga mendapat paparan matahari cukup
g. Apakah sering minum susu dan asupan kalsium lainnya
h. Apakah sering merokok, minum alkohol
2. Pemeriksaan fisik
Penderita (terutama wanita tua) biasanya datang dengan nyeri tulang terutama tulang belakang, bingkuk dan sudah menopause.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan non-invasif
1) Pemeriksaan analisis aktivasi neuton yang bertujuan untuk memeriksa kalsium total dan massa tulang
2) Pemeriksaan absorpsiometri
3) Pemeriksaan computer tomografi (CT)
b. Pemeriksaan biopsi
Pemeriksaan ini bersifat invasive dan berguna untuk memberikan informasi mengenai keadaan osteoklas, osteoblas, ketebalan trabekula dan kualitas mineralisasi tulang.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kimia darah dan kimia urin biasanya dalam batas normal, sehingga pemeriksaan ini tidak banyak membantu kecuali pada pemeriksaan biomarkers osteocalsin (G1 a protein) dan osteonektin untuk melihat proses mineralisasi serta untuk membedakannya dengan nyeri tulang oleh kausa yang lain.
G. Dignosis Banding
Diagnosis banding untuk osteoporosis antara lain: (Underwood, 1999)
1. Osteopenia
2. Osteomalasia
3. Osteodistrofi ginjal
H. Penatalaksanaan
1. Hormon seks
Hormon seks pada wanita seperti estrogen, SERMs, ipriflavone ataupun tibolone, sedangkan pada pria, androgen. Testosteron berperan dalam pertumbuhan tulang, sedang estrogen berperan dalam membatasi pertumbuhan tulang. Seperti halnya pada defisiensi estrogen, defisiensi androgen juga mengakibatkan bone loss dengan cara merangsang osteoklas untuk resorpsi tulang. Sampai saat ini informasi terapi sulih estrogen pada fraktur vertebra sangat terbatas. Walaupun demikian penelitian pada 75 wanita menopause dengan osteoporosis yang mendapat terapi estrogen transdermal, didapatkan relative risk 0,39 dibanding tidak diobati dan terjadi peningkatan densitas tulang lumbal sebesar 5,1 %, dan menurunkan remodelling tulang. Dan pada penelitian kohort, mendapatkan terapi sulih estrogen ini sebagai terapi preventif osteoporosis.
2. Biphosphonat
Biphosphonat adalah analog pyrophosphate yang stabil, mempunyai mekanisme pasti belum begitu jelas, tetapi diduga mempengaruhi osteoklas atau prekusornya sehingga terjadi peningkatan sel sel mati, pada akhirnya terjadi penurunan resorpsi tulang. Beberapa biphosphonat dapat mempengaruhi: aktivasi prekursor osteoklas, diferensiasi prekursor osteoklas menjadi osteoklas matang, khemotaksis, perlekatan osteoklas pada tulang dan apoptosis osteoklas. Disamping itu biphosphonat mempunyai efek secara tidak langsung terhadap osteoklas, yaitu dengan cara merangsang osteoblas untuk menghasilkan zatyang dapat menghambat kerja osteoklas dan menurunkan kadar stimulator osteoklas. Dengan demikian Bisphosphonate menyebabkan peningkatan densitas tulang dan penurunan fraktur tulang. Preparat yang dianjurkan untuk terapi pencegahan hilangnya massa tulang adalah clodronate, pamidronate, tiludronate, risedronate, and ibandronate, sedangkan pada penderita yang telah terjadi fraktur dapat digunakan etidronate dan alendronate. Dosis untuk kasus osteoporosis : etidronat 400 mg/hari selama 2 minggu, dilanjutkan dosis rendah sebagai terapi intermiten disertai pemberian 500 mg kalsium selama 76 hari selama 11 bulan. Alendronat 10 mg/hari yang diberikan secara terus-menerus sebagai terapi pada wanita menopause akan meningkatkan densitas tulang lumbal sebesar 8.8% dan 5,9% pada tulang leher selama 3 tahun pemberian serta dapatmenurunkan angka fraktur spinal dan nonvertebra sebesar 40%-50%.
3. Kalsitonin
Kalsitonin adalah asam amino 32 peptida diproduksi oleh sel C kelenjar tiroid dan dihasilkan apabila terjadi penurunan resorpsi tulang, oleh sebab itu bekerja hanya pada keadaan dimana kadar kalsium dalam darah meningkat seperti pada penderita osteoporosis dan bukan pada orang keadaan normal. Kalsitonin juga dapat menghambat kelebihan kadar kalsium dalam darah sesudah seseorang yang mengkonsumsi makanan yang kaya kalsium dan mampu melindungi badan terhada kehilangan cadangan kalsium tubuh, misalnya pada kehamilan, menyusui, masa pertumbuhan dan intake kalsium yang rendah. Disamping itu pada osteoklast terdapat reseptor calsitonin dan secara cepat calsitonin akan menghambat aksi osteoklas. Salmon atau human calsitonin diberikan secara subkutan dengan dosis 100 IU perhari, akan meningkatkan densitas tulang dan menurunkan fraktur vertebra. Dengan cara pemberian intaranasal dengan dosis tudak kurang dari 200 IU perhari ternyata tidak memberikan hasil yang baik pada wanita tua dengan fraktur vertebra.
4. Kalsium dan Vitamin D
Salah satu kegunaan kalsium dalam tubuh adalah untuk proses mineralisasi tulang dan juga berfungsi sebagai anti resorptive agent dengan cara meningkatkan kadar kalsium dalam darah dan menekan kadar hormon paratiroid. Berbagai penelitian telah membuktikan adanya penambahan densitas tulang pada pemberian kalsium. Dosis yang dianjurkan adalah antara 1.000 – 1.500 mg/hari. Pemberian vitamin D sebanyak 17,5 mg/hari selama 2 tahun dapat menghambat penurunan densitas tulang panggul dan kaput femuris.
5. Kalsitriol
kalsitriol adalah salah satu hasil metabolit vitamin D atau 1,25 dihydroxyvitamin D suatu bentuk aktif dari vitamin D dan dipakai dalam pengobatan osteoporosis, menurunkan absorbsi kalsium dan mungkin mempunyai efek langsung pada sel tulang oleh karena itu pemberian kalsitriol pada penderita osteoporosis rasional terutama pada penderita lansia.
6. Hormon paratiroid (PTH)
Dengan pemberian PTH akan meningkatkan biokimiawi pada proses formasi dan resorpsi tulang sehingga bertindak sebagai pengatur lalu lintas kalsium dan fosfat melalui membran sel tulang dan ginjal serta akan mengakibatkan peningkatan kadar kalsium dan penurunan kadar fosfat dalam serum. Pada pemberian PTH injeksi setiap hari merangsang pembentukan tulang. Pemberian selama 2 tahun, ternyata terjadi peningkatan densitas tulang vertebra, tetapi pada tulang leher tidak terjadi. Walaupun demikian sampai saat ini efek PTH terhadap insidensi fraktur belum diketahui.
7. Anabolik steroid
anabolik steroid telah lama dipakai untuk pengobatan osteoporosis pada wanita post menopause dan ternyata terapi ini dapat meningkatkan densitas tulang yang diduga melalui mekanisme merangsang pembentukan tulang. Akan tetapi marka biokimia tentang adanya proses pembentukan tulang tidak ditemukan, dengan demikian keadaan ini tidak menyokong hipotesa tersebut. Bekerjanya anabolik steroid ternyata primer pada penurunan bone turnover. Apabila anabolik steroid diberikan pada wanita, untuk mengurangi efek samping obat pemberiannya dianjurkan secara intermiten selama 6-9 bulan.
8. Raloxifene
Raloxifene merupakan formulasi kombinasi agonis estrogen dan antagonist estrogen dan mempunyai sifat selektif terhadap modulator reseptor. Pada menopause yang diberikan raloxipene selama 2 tahun, didapatkan penururunan resorpsi dan peningkatan densitas tilang limbal (2,4%), Panggul (2,4%), dan pada densitas seluruh tulang (2,0%). Raloxipene juga menurunkan kolesterol LDL tetapi tidak menstimulasi pertumbuhan endometrial, sehingga raloxipene dapat digunakan sebagai terapi alternative pengganti estrogen (Suherman, 2006).
Selain diberikan obat-obatan, penderita osteoporosis juga harus diberikan latihan dan program rehabilitasi. Hal ini sangat penting karena dengan latihan yang teratur, penderita akan menjadi lebih lincah, tangkas, dan kuat otot-ototnya sehingga tidak mudah terjatuh. Selain itu latihan juga akan mencegah perburukan osteoporosis karena terdapat rangsangan biofisikoelektrokemikal yang akan meningkatkan remodeling tulang (Sudoyo, 2007).
I. Komplikasi
Osteoporosis merupakan keadaan terjadinya pengurangan massa tulang. Penderita yang tergeletak di tempat tidur untuk waktu yang lama akan kehilangan sebagian massa tulang yang tidak dapat dihindari. Osteoporosis tidak hanya memperlemah kerangka tulang, tetapi juga membebaskan banyak kalsium, yang mengakibatkan terjadinya hiperkalsiuria dan resiko terbentuknya batu ginjal. Jika penderita osteoporosis melakukan aktifitas, maka dapat pula terjadi fraktur (Underwood, 1999).
J. Pencegahan
Adapun pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari osteoporosis antara lain: (Suherman, 2006)
1. Pencegahan umum dimulai sejak anak-anak
2. Diet mengandung tinggi kalsium (1000 mg/hari)
3. Pemeliharaan/penjagaan terhadap tulang yang rapuh
4. Pemeliharaan kelenturan, koordinasi, dan kebugaran
5. Latihan teratur setiap hari
6. Mencegah jatuh
7. Hindari immobilitas
8. Hindari makanan tinggi protein, minum alkohol, merokok, minum kopi, minum antasida yang mengandung alumini
BAB II
PEMBAHASAN
Pada skenario yang berjudul “Kisah Sedih Eyang Neli” didapatkan beberapa masalah, diantaranya:
Dari hasil anamnesis, didapatkan identitas dan keluhan pasien, sehingga dapat ditarik diagnosis penyakit pasien.
Nama : Neli
Umur : 76 tahun
Pekerjaan : Pemulung
Riwayat : Menopause sejak umur 39 tahun, makan hanya 2 kali sehari dengan lauk pauk seadanya.
Keluhan : Nyeri pada vertebra dan hip joint sejak 6 bulan yang bertambah sakit pada malam hari, jatuh saat mandi sehingga mengalami fraktur Colles dan fraktur kompresi vertebra.
Pemeriksaan : DXA (dual-energy x-ray absorptiometry) karena curiga fraktur fisiologi, hipokalsemia dari pemeriksaan serum.
Diagnosis : Osteoporosis
Dalam keadaan yanng cukup bervariasi dan individual bagi seorang wanita, folikel telur yang tersisa dalam indung telur mulai lenyap. Peristiwa ini terjadi antara usia 45-55 tahun. Perubahan itu tiba-tiba, dan ada peralihan perlahan-lahan dari aktivitas dinding telur yang normal pada tahun-tahun reproduksi, ke indung telur yang relatif tidak aktif pada tahun-tahun menopause. Perubahan pertama dalam urutan peristiwa yang memuncak pada berhentinya haid atau menopause adalah folikel telur di indung telur menjadi kurang peka terhadap rangsangan hormon pituitari. Selain itu, ada perubahan jumlah kedua hormon pituitari, FSH dan LH, yang merangsang pertumbuhan beberapa folikel setiap bulan sejak remaja. Dua perubahan itu berarti semakin sedikit folikel telur yang dirangsang, dan akibatnya mengurangi jumlah estrogen yang dilepas selama setiap siklus haid. Dengan berlalunya waktu, semakin sedikit folikel telur yang dirangsang oleh hormon, dan jumlah estrogen yang dikeluarkan semakin berkurang, sampai akhirnya haid berhenti sama sekali (Llewellyn, 1997). Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang yang penting. Estrogen memilliki efek langsung dan tak langsung pada tulang. Efek tak langsung meliputi estrogen terhadap tulang berhubungan dengan homeostasis kalsium yang meliputi regulasi absorpsi kalsium di usus, ekskresi Ca di ginjal dan sekresi hormon paratiroid (PTH). Terhadap sel-sel tulang, estrogen memiliki beberapa efek. Efek-efek ini akan meningkatkan formasi tulang dan menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas (Sudoyo, 2007).
Eyang Neli mengalami menopause yang terlalu cepat dari biasanya, yaitu pada umur 39 tahun. Hal ini dikarenakan cakupan gizi beliau sangat kurang, mengingat beliau bekerja sebagai seorang pemulung dan makannya hanya dua kali sehari dengan menggunakan lauk seadanya tanpa sayuran. Terjadinya osteoporosis pada usia lanjut lebih sering dijumpai pada mereka yang kurang aktif atau mereka yang makanannya mengandung sedikit kalsium atau vitamin D pada usia remaja. Selain itu, menopause dini juga merupakan faktor resiko penyebab osteoporosis (Underwood, 1999).
Nyeri dirasakan pertama kali pada vertebra dan hip joint-nya karena terdapat daerah peka nyeri di daerah tersebut, misalnya otot, pembuluh darah, dll. Selain itu nyeri semakin bertambah pada malam hari dikarenakan posisi tidur yang rileks, sehingga nyeri lebih terasa. Jika telah terjadi fraktur, nyeri diakibatkan karena vasodilatasi pembuluh darah pada malam hari. Untuk yang tidak mengalami fraktur, nyeri lebih dikarenakan faktor kompresi (Guyton, 2007).
Dari hasil pemeriksaan, ditemukan fraktur Colles pada distal radius. Hal ini terjadi karena eyang Neli terjatuh saat mandi dengan posisi tangan menahan tubuh. Terapi dilakukan dengan mengadakan reposisi dan fiksasi gips. Tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 6-8 minggu. Ada pula fraktur Smith, yaitu kebalikan dari fraktur Colles. Posisi jatuhnya mengarah ke posterior. Selain ditemukan fraktur Colles, ditemukan juga fraktur kolumna vertebralis sebagai akibat osteoporosis. Bisa terjadi dalam bentuk crush (pada wanita pasca menopause) atau bentuk multipel, seperti baji (wanita atau pria akibat osteoporosis senilis). Gejala khas adalah timbulnya bongkok akibat fraktur daerah punggung, yang juga berakibat tinggi penderita berkurang. Nyeri yang timbul bisa disertai nyeri akibat penekanan syaraf sesuai dengan dermatom, karena penekanan syaraf di daerah tersebut. Nyeri biasanya akan membaik dalam waktu 2-4 minggu, sedangkan fraktur akan sembuh dalam waktu 3-4 bulan (Rasjad, 2007).
Dokter melakukan pemeriksaan DXA (dual-energy x-ray absorptiometry), yaitu metode yang paling sering digunakan dalam diagnosis osteoporosis karena mempunyai tingkat akurasi dan presisi yang tinggi. Sumber energinya yaitu sinar-X yang dihasilkan dari tabung sinar-X. Hasil pengukuran dengan DXA berupa:
1. Densitas mineral tulang pada area yang dinilai satuan bentuk gram per CM2
2. Kandungan mineral tulang dalam satuan gram
3. Perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai normal rata-rata densitas tulang pada orang seusia dan dewasa muda yang dinyatakan dalam presentase
4. Perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai normal rata-rata densitas tulang pada orang seusia dan dewasa muda yang dinyatakan dalam skore standar deviasi (Z-score atau T-score)
Densitas mineral tulang yang rendah merupakan faktor resiko utama yang dapat dicegah dan prediktor utama terjadinya fraktur. Secara umum setiap terjadi penurunan densitas tulang sebesar 1 standar deviasi di bawah rata-rata densitas mineral tulang orang dewasa muda akan meningkatkan terjadinya fraktur sebanyak 2-3 kali (Sudoyo, 2007)
Pada pemeriksaan serum, didapatkan hasil bahwa eyang Neli mengalami hipokalsemi yaitu kurangnya kasium dalam darah. Patofisiologinya yaitu saat tulang kekurangan kalsium akibat osteoporosis, darah menyuplai kalsium terus menerus, tetapi pemasukan kalsium ke dalam darah sangat kurang. Oleh karena itu, kalsium dalam darah menjadi turun atau yang biasa disebut hipokalsemia (Rasjad, 2007)
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Osteoporosis merupakan penyakit yang sering terjadi pada lanjut usia terutama wanita. Hal ini dikarenakan berkurangnya total massa tulang yang menyebabkan kelemahan. Kelainan ini merupakan hasil dari ketidakseimbangan yang progresif antara reabsorpsi tulang dengan pembentuksn tulang, yang merupakan gambaran normal. beberapa tingkat osteoporosis tidak dapat dihindari pada semua penderita lanjut usia. Penyakit diasumsikan signifikan apabila terjadi komplikasi, misalnya fraktur.
B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan kasus pada skenario “Kisah Sedih Eyang Neli” adalah:
1. Meningkatkan pemasukan kalsium di dalam makanan atau tablet kalsium yang diminum setiap sore, untuk menghasilkan pemasukan total sekitar 1,5 gram kalsium setiap hari
2. Berhentilah merokok
3. Latihan olahraga teratur, memilih bentuk olahraga yang disukai
4. Jalan cepat selama 1 jam 3 kali seminggu sama efektif dengan program olahraga yang lebih kompleks.
