Tujuan dari pengobatan Tb adalah menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutus rantai penularan dan mencegah munculnya resistensi (DepKes, 2006). Obat antituberkulosis (OAT) yang digunakan sesuai pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis adalah isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), etambutol (E) dan streptomisin (S). Pengobatan Tb dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. Prinsip pengobatan Tb di Indonesia dilakukan sebagai berikut:
a. Obat antituberkulosis (OAT) harus diberikan dalam kombinasi (KDT/kombinasi dosis tetap), dosis tepat dan jumlah cukup sesuai kategori.
b. Pengobatan Tb dilakukan dalam 2 tahap yaitu: tahap intensif dan tahap lanjutan. Pada tahap intensif pasien mendapat obat setiap hari, berlangsung 2 bulan (56 hari), sedang pada tahap lanjutan pasien mendapat KDT 3 x seminggu dan berlangsung lebih lama (4 bulan).
Panduan OAT yang digunakan adalah: kategori I: 2(HRZE)/4(HR)3, kategori II: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 dan kategori anak: 2HRZ/4HR. Kategori I diberikan pada pasien baru Tb paru BTA positif, Tb paru BTA negatif, foto thoraks positif dan Tb ekstra paru. Dosis OAT KDT untuk kategori I adalah sebagai berikut:
Tabel.1 Dosis KDT untuk kategori I Tb
| Berat badan (kg) | Tahap intensif (56 hari) RHZE (150/75/400/275) | Tahap lanjutan (3x Seminggu selama 16 minggu). RH(150/150) |
| 30-37 | 2 tablet 4KDT | 2 tablet 2KDT |
| 38-54 | 3 tablet 4KDT | 3 tablet 2KDT |
| 55-70 | 4 tablet 4KDT | 4 tablet 2KDT |
| ≥71 | 5 tablet 4KDT | 5 tablet 2KDT |
Sumber: DepKes, 2006
Kategori II diberikan kepada: pasien kambuh, pasien gagal dan pasien dengan pengobatan setelah default. Dosis OAT KDT untuk kategori II adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Dosis KDT untuk kategori II Tb
| Berat badan(kg) | Tahap intensif tiap hari | tahap lanjutan 3 x seminggu | |
| | RH(150/150)+E(275) | ||
| | selama 56 hari | selama 28 hari | selama 20 minggu |
| 30-37 | 2tab 4KDT+inj.streptomisin 500mg | 2 tab 4KDT | 2 tab 2KDT+2 tab etambutol |
| 38-54 | 3tab 4KDT+inj.streptomisin 750mg | 3 tab 4KDT | 3 tab 2KDT+3 tab etambutol |
| 55-70 | 4tab 4KDT+inj.streptomisin 1000mg | 4 tab 4KDT | 4 tab 2KDT+4 tab etambutol |
| ≥71 | 5tab 4KDT+inj.streptomisin 1000mg | 5 tab 4KDT | 5 tab 2KDT+5 tab etambutol |
Sumber: DepKes, 2006
1. Hasil pengobatan
Hasil pengobatan tuberkulosis dinyatakan sebagai berikut:
a. Sembuh: Pasien yang menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pada pemeriksaan ulang sputum (follow up) hasilnya negatif (BTA-) dan pada satu follow up sebelumnya
b. Pengobatan lengkap: Pasien yang menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh/gagal
c. Meninggal: pasien yang meninggal dalam masa pengobatan dengan sebab apapun
d. Pindah: Pasien yang pindah ke unit dengan register Tb03 lain dan hasilnya tidak diketahui
e. Default (putus obat): Pasien yang tidak berobat selama 2 bulan berturut-turut atau lebih selama masa pengobatannya
f. Gagal: pasien yang hasil pemeriksaan sputumnya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama masa pengobatan (DepKes, 2006).
2. Pemantauan dan hasil pengobatan Tb
Pemantauan hasil pengobatan Tb pada orang dewasa dilakukan dengan pemeriksaan sputum sebanyak 2 x (sewaktu – pagi (SP)). Pemeriksaan laju endap darah (LED) tidak dilakukan karena tidak spesifik untuk Tb. Jika hasil pemeriksaan sputum satu positif atau keduanya positif, maka hasil pemeriksaan ulang sputum dinyatakan positif. Tahapan dan tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang sputum tercantum dalam tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Tahapan pengobatan & tindak lanjut pengobatan Tb
| Tipe pasien | Tahap pengobatan | Hasil pemeriksaan dahak | Tindak lanjut |
| | akhir tahap intensif | negatif | tahap lanjutan dimulai |
| Pasien baru BTA+ & BTA -, Ro +, dengan pengobatan kategori I | | positif | diberi OAT sisipan 1bulan jika setelah sisipan tetap positif, tahap lanjutan tetap dimulai |
| | 1 bl sebelum akhir pengobatan | negatif | pengobatan dilanjutkan |
| | | positif | diganti OAT kategori II mulai awal |
| | akhir pengobatan | negatif | pengobatan diselesaikan |
| | | positif | diganti OAT kategori II mulai awal |
| | akhir tahap intensif | negatif | tahap lanjutan dimulai |
| Pasien BTA + dengan pengobatan ulang kategori II | | positif | Sisipan 1 bulan. Jika tetap positif , tahap lanjutan tetap dimulai |
| | 1 bl sebelum akhir pengobatan | negatif | pengobatan dilanjutkan |
| | | positif | pengobatan dihentikan, dirujuk ke spesialistik |
| | akhir pengobatan | negatif | pengobatan diselesaikan |
| | | positif | dirujuk ke spesialistik |
Sumber: DepKes, 2006
A. Rifampisin
Rifampisin merupakan derivat semisintetik rifamisin B. Zat ini dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. Obat ini bersifat bakterisid baik pada intrasel maupun pada ekstrasel. Mekanisme kerja rifampisin dalam penghambatan terhadap M tuberculosis adalah dengan cara menghambat polymerase RNA M. tuberculosis maupun bakteri lain dengan membentuk komplek obat-enzim yang relatif stabil. Pembentukan ikatan ini akan menyebabkan penghambatan pembentukan rantai sintesis RNA (Gilman, 2001; Petri, 2006; Istiantoro & Setyabudi, 2007). Setelah di absorbsi di usus obat ini akan mengalami siklus interohepatik. Obat ini akan mengalami deasetilasi sehingga dalam waktu 6 jam semua obat sudah menjadi metabolitnya (deasetyl rifampisin) (Gilman, 2001). Pemberian rifampisin peroral menghasilkan kadar puncak rifampisin dalam plasma setelah 2-4 jam. Dosis 450 mg rifampisin akan menghasilkan kadar rifampisin 6-16 µg/mL setelah 2 jam (1-4jam) (Petri, 2006). Dosis tunggal rifampisin 600mg menghasilkan kadar sekitar 7µg/mL. MIC (minimal inhibitory concentration) rifampisin terhadap kuman M. tuberculosis berkisar 0,005-0,2 µg/mL (Istiantoro & Setyabudi, 2007). Rifampisin merupakan substrat pada PGP 170, sehingga bioavailabilitas dan kadarnya sangat dipengaruhi oleh PGP tersebut (Hong et al., 2006; Pechandova et al., 2006; Prakash et al, 2003; Greiner et al., 1999). Pemberian rifampisin bersama dengan verapamil (yang dikenal sebagai blok PGP) menyebabkan peningkatan kadar dan AUC0-4 dari rifampisin tersebut. Terjadi peningkatan AUC0-4 84% dari 13,37±2,15 menjadi 24,63±4,93 (Prakhas et al, 2003). Disamping merupakan substrat PGP, rifampisin sekaligus induktor PGP. Pemberian rifampisin bersama digoksin maupun talinolol (yang merupakan substrat PGP) menyebabkan penurunan konsentrasi kedua obat tersebut (Greiner et al., 1999). Metabolisme rifampisin oleh CYP3A4, karena rifampisin merupakan substrat CYP3A4. Disamping substrat CYP3A4, rifampisin juga merupakan induktor kuat CYP3A4 (Prakhas et al., 2003). Hal ini mengakibatkan pada pemakaian berulang, rifampisin akan menyebabkan induksi CYP3A4 (autoinduksi/menginduksi dirinya sendiri) yang akan menyebabkan pemendekan t½. Pemberian rifampisin berulang selama 14 hari akan menyebabkan pemendekan waktu waruh 40% (Gilman, 2001). Autoinduksi CYP3A4 oleh rifampisin maksimum tercapai setelah pemakaian 21 hari (Prakhas et al., 2003). Sebagian besar rifampisin terikat protein plasma (±75%). Obat ini dapat berdifusi secara baik ke berbagai jaringan. Hal ini dapat dilihat dari warna merah pada urin, tinja, sputum, air mata dan keringat penderita Tb yang diobati dengan rifampisin. Ekskresi rifampisin melalui urin hanya 30%, dimana separuhnya merupakan rifampisin dalam bentuk utuh sehingga pada penderita Tb yang juga mengalami gangguan fungsi ginjal tidak perlu penyesuaian dosis. Rifampisin merupakan induktor CYP3A4 sehingga pemberian bersama obat-obat yang merupakan substrat CYP3A4 akan menurunkan waktu paruh obat tersebut. Golongan obat yang merupakan substrat CYP3A4 tersebut antara lain: digoksin, digitoksin, kuinidin, ketokonazol, metoprolol, propranolol, metadon, verapamil, steroid, teofilin, sulfonylurea dan flukonazol (Rahajoe, et al., 2005; Petri, 2006). Rifampisin jarang menimbulkan efek samping yang serius. Pada dosis lazim, hanya kurang dari 4% penderita yang mengalami efek toksik. Efek samping yang sering muncul antara lain: demam, mual muntah, ruam kulit. Pada pemberian dosis besar tapi berselang sering menimbulkan flu like syndrome, nefritis interstitial, nekrosis tubuler akut dan trombositopenia (Gilman, 2001). Penelitian lama yang melibatkan 49 pasien yang diberi rifampisin 600mg dikombinasi dengan INH 300 mg dan injeksi streptomisin 750 mg IM selama 6 hari/minggu selama 3 bulan dan dilanjutkan dengan rifampisin 1200 mg 2x/seminggu+INH 900mg+pyridoxin 10 mg selama 15 bulan menunjukkan hasil sebagai berikut: 22% pasien tidak dapat dilanjutkan pemberian rifampisin karena efek samping yang cukup mengganggu. Efek samping ini berupa: demam (16%) dan trombostitopenia (6%) dan satu pasien menderita demam sekaligus trombositopenia (Poole et al., 1971).
